Page 26 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 26
C. Van Vollenhoven xxv
(2004, 2010) beranggapan bahwa hukum adat adalah mitos yang
diciptakan (invented) oleh cendekiawan Belanda masa kolonial
(Burns 2010: 78). Burns gigih menegaskan pembedaan antara
adat dan hukum. Dengan menggunakan definisi hukum dalam
arti sempit, Burns beranggapan bahwa warisan van Vollenhoven
melalui fenomena hukum adat hanya memiliki peran pada
tataran ideologi untuk menciptakan “mitos sakral tentang
identitas bagi orang-orang Indonesia dalam perjuangannya
merebut kemerdekaan” (Burns 2010: 81).
Pendapat ini ditandingi oleh Franz dan Keebet von
Benda-Beckman. Pasangan ahli antropologi hukum dengan
sejarah penelitan yang panjang di Sumatra Barat dan Ambon
berargumen bahwa sumbangan penting dari van Vollenhoven
adalah usahanya membangun klasifikasi yang sistematis dari
data-data tentang adat. Klasifikasi itu memungkinkan konsep-
konsep seperti inlandsch bezitsrecht dan beschikkingsrecht
muncul secara lebih substantif karena dikaitkan dengan
“keberadaan struktur politik, klaim terhadap properti komunal,
dan tanggung jawab pada orang luar atas kerusakan-kerusakan”
(Benda-Beckmann 2008:9). Terlepas dari pengakuan pemerintah
kolonial atau cendekiawan Leiden, Benda-Beckman melihat hak
penguasaan atas wilayah adat di berbagai wilayah di Hindia
Belanda adalah nyata adanya dengan keragaman bentuk dan
tingkat kecanggihan praktik antar satu tempat ke tempat
lainnya. Kritik-kritik terhadap beschikkingsrecht sebagai “hasil
ciptaan” para ahli hukum Belanda dinilai Benda-Beckmann
sebagai kegagalan menempatkan konsep itu dalam konteks
waktunya (Benda-Beckmann 2008, 19).
Dengan terus mempertimbangkan debat atas warisan
akademik Cornelis van Vollenhoven, buku Orang Indonesia dan
Tanahnya berada pada tempat yang terhormat sebagai rujukan
otoritatif untuk memahami bagaimana politik agraria kolonial