Page 24 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 24
C. Van Vollenhoven xxiii
adalah hukum adat, sebagai dasar-dasar persatuan Indonesia.
(Wignyosoebroto, 1994:134, 142, fn29).
Kekhawatiran para cendekiawan pribumi pemimpin
pergerakan masa itu mengenai perlindungan hak-hak rakyat
pribumi atas tanahnya juga diakibatkan oleh pergerakan kaum
Indo-Eropa melalui Indo-Europeesche Verbond (IEV), yang
meminta pemerintah untuk memperbolehkan mereka memiliki
hak atas tanah sebagai alat usaha. Sebagai landskinderen,
mereka merasa mempunyai hak inheren untuk juga memiliki
tanah di Indonesia (Bintang Timoer, 21 September 1928). Ketika
pertarungan antara pemimpin-pemimpin masyarakat pribumi
dengan masyarakat Indo-Eropa tentang tuntutan kepemilikan
hak atas tanah makin meruncing pasca dikabulkannya tuntutan
IEV untuk menyusun komisi yang meneliti hal tersebut (dikenal
juga dengan nama Komisi Spit yang dibentuk tahun 1930),
M.H. Thamrin menyampaikan pidato tentang ketidakadilan
yang dihadapi rakyat Indonesia di Volksraad pada sesi sidang
1931-1932:
Walaupun demikian, selama beberapa abad hak ulayat ini berulangkali
dipertanyakan dan diragukan, terutama oleh apa yang disebut sebagai
pernyataaan domein (domeinverklaring) oleh pemerintah, yang
menurut Profesor van Vollenhoven adalah salah satu ketidakadilan
yang paling berat yang pernah ditimpakan kepada masyarakat
pribumi pada masa ini. Walaupun hak-hak rakyat telah berungkali
diserang, hak ulayat (beschikkingsrecht), hak guna (gebruiksrecht), hak
menduduki (occupatierecht) dan hak menanam (ontginningsrecht)
tetap bertahan, walaupun secara sederhana dan dibawah kondisi-
kondisi yang sangat sulit. Domeinverklaring telah memungkinkan
usaha-usaha memuaskan lapar-tanah kelompok masyarakat lain
yang dipenuhi dengan cara menyusun (instellingen) dan memberikan
(toekenningen) hak-hak asing bagi masyarakat non-pribumi seperti
hak milik (eigendomsrechten), hak sewa (erfpachtsrechten), hak
agrarian (agrarische rechten) dan hak mengelola tanah pertanian