Page 64 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 64
C. Van Vollenhoven 25
(ordonansi tentang pembukaan tanah) dari para birokrat
menciptakan desa-desa, dimana hak ulayat atas sebagian
dari tanah-tanah pertanian begitu kuat, sedangkan atas
sebagian lain hak ulayat itu sudah lenyap sama sekali.
Mereka menamakan ini desa’s met gemengd bezit (desa-
desa dengan milik campuran), suatu konsepsi yang
sulit dimengerti apabila orang membandingkan dengan
keadaan yang sebenarnya. Juga mereka melarang—apa
alasannya?—pembukaan tanah oleh desa yang melulu
untuk kepentingan desa itu sendiri.
7. Ontginningsordonnantie tersebut diatas melarang pula
pengambilan manfaat atas tanah dengan cara berladang
yang berpindah-pindah. Berladang berpindah-pindah
dianggap jauh dari baik, suatu perampasan daya guna
tanah (roo ouw) yang teralu kasar sifatnya. Hutan-hutan
yang indah menjadi musnah hanya untuk keuntungan
yang sedikit; berladang semacam ini menghabiskan tanah
dua belas sampai dua puluh kali lipat dibandingkan dengan
berladang diatas sawah-sawah yang diairi. Maka apakah
tindakan pemerintah sekarang? Untuk waktu selanjutnya,
maka cara berladang yang berpindah-pindah itu dilarang.
Dan dengan penuh kemenangan, seorang anggota
biro pada tahun 1877 menulis: “Bahwa sesudah dibuat
undang-undang mengenai ontginningsordonnantie, maka
cara berladang yang berpindah-pindah itu pasti akan
lenyap.” Tetapi ternyata di Jawa sekalipun cara berladang
semacam itu masih tetap ada, misalnya di Banten, juga
ditanah-tanah partikelir (1912) dan terutama di luar Jawa,
pemerintah terpaksa menyerah pada kenyataan.
8. Bahwa di dalam lingkungan wilayah hak ulayat dari
desa lain, seorang Indonesia hanya dapat memperoleh
suatu genotrecht (hak mengambil manfaat) dan bukan