Page 61 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 61

22      Orang Indonesia dan Tanahnya

                 ditugaskan untuk itu bisa dikatakan cukup menggelikan
                 yaitu: “Penduduk dari beberapa desa di daerah Madiun
                 hanya mau menggunakan konversi, tetapi dengan asas-
                 asas dari individueel bezitrecht (hak milik perseorangan);
                 dan bahwa alasan dari penduduk desa-desa tersebut
                 adalah takut kalau-kalau konversi itu menganggu atau
                 merusak aturan-aturan tentang ‘kerja wajib’  yang ada
                 pada waktu itu.”
            2.   Di daerah Jawa Barat, hak ulayat desa atas tanah-tanah
                 sawah telah hampir lenyap, meskipun masih ada bekas-
                 bekasnya, sehingga dapat dikatakan bahwa di daerah
                 itu ada hak eigendom yang bersifat Indonesia. Maka
                 dapatkah sekarang pemerintah membatasi dirinya
                 dengan tidak melakukan campur tangan? Sebaliknya, di
                 kabupaten Sumedang terdapat sebuah peraturan yang
                 mewajibkan seseorang untuk mendapatkan persetujuan
                 dari semua anggota pemerintah desa jika ia bermaksud
                 menjual tanahnya kepada penduduk desa lain, peraturan
                 ini memang tepat jika diperuntukkan bagi daerah Jawa
                 Tengah, tetapi merupakan paksaan dan hambatan bagi
                 daerah Jawa Barat.
            3.   Sejak dahulu, baik di Jawa maupun diluar pulau Jawa
                 terdapat suatu aturan hukum adat, yaitu tanah-tanah
                 pertanian yang karena suatu sebab jatuh kembali ke tangan
                 hak ulayat desa yang tidak terbatas, pada waktu yang
                 dianggap baik akan diberikan kembali oleh desa kepada
                 orang lain, tetapi sekarang hak dari desa untuk memberi
                 keputusan mengenai persoalan tersebut telah dihapuskan
                 oleh Residen berdasarkan Gemeenteordonantie tahun
                 1906 (lebih tepat menurut sebuah edaran/circulair dari
                 bulan Juli 1916). Alasannya karena menurut anggapan
                 dari para birokrat, penghasilan dari “tanah desa” tersebut
   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65   66