Page 56 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 56
C. Van Vollenhoven 17
dibarengi dengan prosedur administrasi yang berbelit-belit dan
yang sangat dibenci oleh orang-orang Jawa itu.
Namun alasan yang sebenarnya adalah bahwa orang tidak
menyadari apa yang sesungguhnya dilakukannya. Seperti yang
dikatakan oleh Baud pada tahun 1851 “Hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dari pemilik-pemilik atau pemakai tanah sawah masih
dalam keadaan gelap, atau sekurangnya masih tertutup oleh
kabut,” dan pemerintah berdasarkan alasan-alasan yang dapat
dimengerti boleh jadi masih mempunyai kecurigaan, seandainya
dilakukan penelitian secara jujur.
Toh sesungguhnya bagi pemerintah ada sebab-sebab
untuk berusaha berpikir dengan tenang. Pertama-tama ialah
kelumpuhan ekonomi yang muncul dikalangan penduduk.
Kemudian perlu diadakan perbandingan dengan stelsel raja-
raja di Jawa, dimana tindakan sewenang-wenang (yang hampir
sama terlalunya” dengan tindakan-tindakan pemerintah Hindia
Belanda) hanya terbatas dalam daerah-daerah pusat kerajaan
(Kedu, Yogyakarta dan Surakarta sekarang), sedangkan kita
justru memperluasnya di seluruh pulau Jawa. Juga jika diingat,
bahwa penghancuran hak-hak tanah tersebut terjadi dalam
tahun-tahun dimana kekuasaan raja-raja pribumi atas desa-
desa sedang beralih kedalam kekuasaan pemerintah. Juga selalu
dapat dilihat bagaimana hukum adat yang telah dikudungkan itu
berusaha mengambil kedudukannya yang semula, setiap waktu
jika tekanan-tekanan seperti pajak tanah, tanam paksa dan kerja
pertuanan tersebut dihapuskan atau diperingan.
Selain itu belum lagi terhitung tindakan-tindakan yang
salah dari kepala-kepala desa sendiri yang mencontoh
tindakan-tindakan pemerintah Hindia Belanda, tepat seperti
pelaksanaan pepatah Melayu “Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari.” Sebagai akibatnya, bisa dikatakan bahwa hak-