Page 53 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 53
14 Orang Indonesia dan Tanahnya
diperkecil menurut jumlah landrente yang dipandang layak
oleh kepala desa.
Tentu saja skandal ini ditutupi dengan teori-teori yang
dipandang tepat: bahwa pemerintah menganggap dirinya
sebagai eigenaar atau pemilik semua tanah di Jawa dan
kemudian menyewakan (verpachten) sejumlah sawah-sawah
dari setiap desa kepada kepala desa yang bersangkutan; kepala
desa membagi-bagi tanah pada orang-orang sedesa dengan
kewajiban membayar landrente menurut cara yang dianggapnya
“patut dan adil.”
Sebagai pembenaran atas landrente ini, duapuluh
tahun kemudian, terjadilah tindakan melawan hukum
(rechtsaantasting) yang kedua, yaitu aturan tanam paksa
(cultuurstelsel) dari van den Bosch. Terutama hal ini terjadi
pada penanaman nila secara paksa (indigo dwangcultuur), juga
penanaman tebu secara paksa (suiker dwangcultuur), terjadi
di seluruh Jawa, dari barat sampai timur. Untuk mendapatkan
tanah secara cuma-cuma bagi penanaman paksa itu, maka
seluruh sawah-milik (akkerbezit) dipecah-pecah semaunya,
pematang-pematang—yang juga merupakan penunjuk-
penunjuk batas dari sawah-sawah tersebut—harus dikorbankan
guna pengusahaan ladang-ladang nila dan tanah-milik
(grondbezit) seluruhnya diputarbalikkan. Hak-hak penduduk
atas tanahnya masing-masing dengan demikian tidak diakui,
terkadang hak waris atas sawah-sawah dengan mudah saja
dihapuskan dan kemungkinan besar dengan cara yang sangat
sewenang-wenang; tanah-milik antara desa yang satu dengan
desa yang lain dicampur adukkan begitu saja. Celakanya lagi,
pemerintah suka sekali memberlakukan peraturan-peraturan
tersebut pada desa-desa yang belum pernah melaksanakan
tanam paksa (dwangcultuur). Coba bayangkan jika hal ini terjadi
di negeri Belanda.