Page 54 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 54

C. Van Vollenhoven  15
                 Namun disamping landelijk stelsel dan cultuurstelsel itu,
              masih ada pelanggaran hebat yang ketiga, yaitu kewajiban-
              kewajiban yang oleh pemerintah hanya dibebankan kepada
              para pemilik tanah, yaitu kewajiban “kerja pertuanan”—heeren
              en cultuurdiensten—yang secara salah dikatakan berdasarkan
                         5
              hukum adat.  Akibatnya banyak orang yang terpaksa melepaskan
              diri dari milik-milik tanahnya, agar supaya dapat bebas dari
              kewajiban-kewajiban yang berat itu.
                 Demikianlah yang terjadi di daerah Pasuruan, penduduknya
              banyak yang melarikan diri ke gunung-gunung karena secara
              paksa diwajibkan bekerja dalam bentuk heerendienst di suatu
              tempat yang jauh, misalnya untuk membuat suatu perbentengan
              di Surabaya, pemerintah menganggap patut untuk mengambil
              sawah-sawah mereka itu dan menyerahkannya kepada orang-
              orang lain. Kepala desa diancam dengan suatu tindakan pidana
              jika tidak mengerjakan hal ini.


              5   Heerendiensten diterjemahkan dengan istilah “kerja pertuanan.” Arti
                  kata ini ialah kerja tanpa upah yang dahulu biasa dilakukan penduduk
                  untuk kepentingan tuan-nya atau juga untuk kepentingan masyarakat.
                  Dahulu, di Indonesia, kerja pertuanan ini dilakukan oleh penduduk
                  untuk kepentingan raja-rajanya, disamping pajak yang berbentuk
                  uang atau natura. Gejala ini disalahgunakan oleh VOC dan pemerintah
                  Hindia Belanda, juga diperluas terutama di pulau Jawa, sehingga
                  beban yang sangat berat bagi penduduk terutama pada masa tanam
                  paksa (muncul apa yang dinamakan cultuurdiensten, yaitu kerja tanpa
                  upah yang wajib dilakukan oleh penduduk bagi kepentingan tanam
                  paksa tersebut). Kerja pertuanan” ini secara berangsur-angsur terus
                  diperlunak, dan sejak tahun 1925 diganti dengan apa yang dinamakan
                  persoonlijke diensten, yang hanya boleh dilakukan untuk kepentingan
                  umum, misalnya ketika terjadi bencana alam, membuat saluran
                  irigasi, dan sebagainya. Ganjilnya, pemerintah menamakan tindakan
                  dari para pemilik tanah tersebut sebagai “penyerahan sawah-sawah
                  secara sukarela” dan kepada desa diberikan perintah untuk membagi-
                  bagi sawah itu kembali, sehingga wajib kerja tersebut dapat terus
                  dilaksanakan.
   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59