Page 57 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 57
18 Orang Indonesia dan Tanahnya
hak penduduk atas sawah-sawahnya tidak diakui, ia diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki oleh pemerintah desa.
Anggota-anggota pemerintah desa mengambil tanah-tanah
yang bermutu baik dan memberikan tanah-tanah yang bermutu
jelek sebagai gantinya. Pendek kata, semua itu adalah tindakan
semaunya saja. Jika di tempat lain sawah-milik individu itu
dihapuskan secara bertentangan dengan kemauan petani
yang mengusahakan tanah itu dan kemudian ia mengadukan
tindakan sewenang-wenang tersebut kepada kepala distrik,
maka sudah dapat dipastikan bahwa gugatannya itu akan sia-sia
belaka. Dan seolah-olah tidak bersalah sama sekali, pemerintah
berkata, “Bahwa pemerintahan pribumi...tidak dapat menjaga
keseimbangan, yang telah diberikan oleh bangsa Eropa....”
Untunglah bahwa pelanggaran-pelanggaran seperti yang
disebut di atas hanyalah riwayat masa lalu. Bagaimanakah dan
kapankah keadaan yang suram ini mulai berakhir? Keadaan
ini berakhir dengan berlakunya dua buah ketentuan yang jelas
maknanya (pertinent) dari Regeeringsreglement tahun 1854,
pasal 75 (lama) yang mengatakan, bahwa peradilan dalam soal-
soal perdata harus memperhatikan (menjaga) seluruh hukum
adat yang berlaku di kalangan penduduk—jadi termasuk pula
hukum adat atas tanah. Lalu pasal 62 memperingatkan agar
dalam menyewakan tanah-tanah kepada orang-orang Eropa,
pemerintah memperhatikan hukum adat atas tanah dari
penduduk.
Tetapi pasal-pasal tersebut ternyata kurang mendapat
perhatian. Keadaan yang buruk itu tetap tidak berubah sampai
sepuluh tahun semenjak berlakunya Regeringsreglement.
Perubahan baru terjadi pada waktu sedang hangatnya
gerakan undang-undang perkebunan (cultuurwetsbeweging)