Page 21 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 21
8 Aristiono Nugroho, dkk.
sional, sebagai upaya mereduksi potensi resistensi pemilik tanah
yang terkena ketentuan menyerahkan hak garap, yang saat itu
mencapai 64 kepala keluarga. Namun demikian, saat itu (1947 –
1964) kebijakan ini berhasil memberi penghasilan petani peng-
garap atas tanah sawah yang digarapnya. Selain itu, Pemerintah
Desa Ngandagan juga memperoleh 128 tenaga kerja yang siap
melakukan kerigan (kerjabakti desa) dan ronda (menjaga
keamanan desa di malam hari). Keberadaan 128 keluarga petani
yang menikmati landrefrom lokal hingga saat ini menunjukkan
peran landreform lokal dalam memenuhi kebutuhan sosio-
kolektif masyarakat desa.
Kebijakan Soemotirto di Desa Ngandagan pada tahun 1947
– 1964 memang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961, karena sejak awal Soemotirto ingin mene-
rapkan landreform dengan caranya sendiri. Soemotirto tidak
melakukan redistribusi tanah, yang ia lakukan hanyalah redistri-
busi hak garap atas tanah. Oleh karena itu, sangat penting bagi-
nya untuk mengumpulkan hak garap atas tanah sawah dari 64
kulian seluas 64 x 90 ubin, untuk kemudian diredistribusikan
kepada 128 buruh kulian. Hal yang juga penting bagi Soemotirto,
adalah melakukan redistribusi hak garap atas tanah tegalan,
sehingga ia kemudian mengambil alih tanah darat (ladang/te-
galan) milik Asisten Wedana Kusumo Mangunharjo Besali seluas
11 Ha yang diterlantarkan oleh yang bersangkutan. Ia membagi-
kan 1 Ha kepada warga Desa Kapiteran, dan membagikan 10 Ha
kepada 49 keluarga petani Desa Ngandagan.
Pemenuhan kebutuhan sosio-kolektif masyarakat desa
sebagaimana yang dilakukan oleh Soemotirto merupakan bagian
dari urgensi pengelolaan tanah di suatu desa. Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan, “Bumi