Page 46 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 46
Resonansi Landreform Lokal ... 33
memaksa pemilik tanah seluas 250 ubin atau lebih menyerahkan
hak garapnya seluas 90 ubin untuk setiap 250 ubin tanah sawah
yang dimilikinya. Bandingkan dengan batas maksimum pemi-
likan tanah pertanian menurut Undang-Undang Nomor 56 Prp
Tahun 1960 bagi daerah sangat padat seluas 5 Ha dan tidak
padat seluas 20 Ha.
Pada tahun 1947 kebijakan ini semata-mata untuk men-
jamin pemenuhan kebutuhan keluarga petani di Desa Karang-
anyar, yang dalam perspektif livelihood sekaligus menjamin
keberlangsungan penerapan livelihood on – farm. Tetapi di masa
kini, dengan tanah sawah seluas 90 ubin, penggarap harus
memadukannya dengan penerapan livelihood off – farm dan non
– farm. Setidak – tidaknya dengan adanya tanah sawah seluas
90 ubin, ada basis pemenuhan kebutuhan keluarga oleh peng-
garap. Setelah itu barulah penggarap berikhtiar melakukan
pemenuhan kebutuhan keluarga dengan menerapkan livelihood
off – farm, non – farm, atau memadukan kedua livelihood tersebut.
Sebagaimana diketahui ide landreform lokal ini awalnya
berasal dari Desa Ngandagan, yang kemudian bergerak ke desa-
desa sekitarnya. Hal ini dapat dimaknai sebagai resonansi land-
reform lokal, khususnya resonansi landreform lokal ala Desa
Ngandagan di Desa Karanganyar. Secara umum resonansi ini
terlihat dari adanya pemberian hak garap, bagi petani yang tidak
memiliki tanah sawah di Desa Karanganyar, sebagaimana yang
terjadi di Desa Ngandagan. Hanya saja terdapat perbedaan da-
lam hal luas hak garap atas tanah sawah, bagi petani yang tidak
memiliki tanah sawah di kedua desa tersebut. Petani yang tidak
memiliki tanah sawah di Desa Ngandagan memperoleh hak garap
seluas 45 ubin, sedangkan petani yang tidak memiliki tanah
sawah di Desa Karanganyar memperoleh hak garap seluas 90 ubin.