Page 45 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 45
32 Aristiono Nugroho, dkk.
menetapkan batas maksimum dengan makna yang berbeda dari
makna yang ada pada Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960. Berdasarkan undang-undang ini, batas maksimum dimak-
nai sebagai batas pemilikan tanah yang diperkenankan berda-
sarkan undang-undang (hukum). Sementara itu, secara adat
(1947) batas maksimum dimaknai oleh masyarakat dan Peme-
rintah Desa Karanganyar sebagai batas luas tanah yang mengaki-
batkan pemilik wajib menyerahkan hak garap seluas 90 ubin
pada setiap 250 ubin tanahnya.
Dengan demikian tidak ada angka batas maksimum yang
ditetapkan pada tahun 1947 sebagaimana yang dimaksud oleh
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, saat landreform lokal
dilaksanakan oleh di Desa Karanganyar. Tepatnya, R. Sosro
Wardjojo (Kepala Desa Karanganyar tahun 1945 – 1977) tidak
menetapkan angka batas maksimum, melainkan menetapkan
angka kelipatan yang terkena ketentuan penyerahan hak garap.
Angka kelipatan itu adalah 250 ubin, dengan angka penyerahan
hak garap sebesar 90 ubin per 250 ubin. Meskipun kebijakan R.
Sosro Wardjojo tidak seidealis ketentuan batas maksimum yang
dimuat dalam UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960, tetapi dalam konteks lokal (Desa Karanganyar) ia berhasil
memberi hak garap atas tanah sawah kepada 76 keluarga petani.
Ketentuan batas maksmimum pemilikan tanah pertanian
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960 yang berlaku di seluruh Indonesia, juga berlaku di Desa
Karanganyar. Tetapi belum pernah ada anggota masyarakat yang
terkena ketentuan tersebut. Kondisi yang mirip ini juga berlang-
sung pada tahun 1947, di mana pemilikan tanah oleh “tuan tanah”
pada masa itu juga tidak terlalu luas. Oleh karena itu, mudah
difahami kebijakan yang diambil oleh R. Sosro Wardjojo untuk