Page 113 - Konstitusionalisme Agraria
P. 113
pengawasan tentara, hingga tahun 1964 (Crouch, 1999:37-8).
Masuknya militer dalam program nasionalisasi dengan menduduki
perkebunan-perkebunan telah menjadi salah satu faktor terjadinya
konflik agraria antara warga dengan militer yang berkepanjangan
sampai hari ini (Wiratraman, 2004).
Nasionalisasi menegaskan posisi pemerintah sebagai subjek
superior yang menguasai seluruh subjek hukum yang ada di dalam
negara baik itu perusahaan dan juga termasuk menguasai lahan-
lahan pertanian dan perkebunan yang sebelumnya dikuasai oleh
perusahaan asing, terutama perusahaan Belanda. Namun dalam
pelaksanaan nasionalisasi, tenaga yang cakap untuk mengambil alih
dan menjalankan perusahaan yang dinasionalisasi masih terbatas.
Hal itu pulalah yang menjadi faktor yang menyebabkan munculnya
kelompok PNI, PKI, Militer dan Agama dalam merebut perusahaan-
perusahaan yang dinasionalisasi. Perebutan ini menjadi benih-benih
konflik agraria yang memilukan dikemudian hari, di mana militer
kemudian melakukan pembersihan terhadap kelompok PKI setelah
tragedi politik 1965. Berkuasanya militer pada sektor perkebunan-
perkebunan besar telah mempengaruhi pula penentuan objek
land reform pada dekade 1960-an karena perusahaan-perusahaan
perkebunan yang telah dikuasai oleh militer banyak yang tidak
menjadi objek land reform.
Program Land Reform dan Kendalanya
Sebagai bangsa yang pernah berada di bawah penguasaan
kolonialisme dan feodalisme, juga negeri yang memperoleh
kemerdekaannya dari suatu revolusi maka kehendak untuk
menghilangkan kolonialisme dan feodalisme juga terekspresikan
dalam upaya memperbarui struktur agraria (Fauzi, 2002). Semangat
untuk merombak tatanan agraris melalui hukum telah dilakukan
sejak tahun 1946 dengan mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1946 tentang
Penghapusan Desa-Desa Perdikan. Undang-undang ini dilaksanakan
dengan penghapusan hak-hak istimewa yang dimiliki para elit desa
di desa-desa “perdikan” di daerah Banyumas. Tanah-tanah mereka
82 Konstitusionalisme Agraria