Page 233 - Konstitusionalisme Agraria
P. 233
yaitu (1) Kekuatan mengikat, (2) Kekuatan pembuktian, dan (3)
Kekuatan eksekutorial (Siahaan, 2006:252). Pertama, kekuatan
mengikat. Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi,
berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya
meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon,
pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan
memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat
semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah
Republik Indonesia. Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum
diciptakan pembuat undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi
dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga
omnes, yang ditujukan pada semua orang.
Kedua, kekuatan pembuktian. Putusan Mahkamah Konstitusi
yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti
yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti
(gezag van gewijsde) atas suatu perkara yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan
tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan
pasti secara positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah
benar dan dapat dipergunakan sebagai dasar bagi memutus suatu
perkara yang ditangani oleh pengadilan lainnya.
Ketiga, kekuatan eksekutorial. Hakim Mahkamah Konstitusi
adalah negative-legislator dan putusannya berlaku sebagai undang-
undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan
dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, putusan
Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita negara agar
setiap orang mengetahuinya. Putusan Mahkamah Konsitusi tidak
memerlukan suatu lembaga khusus untuk melaksanakannya,
sebab kualitas putusan Mahkamah Konstitusi, misalkan dalam
pengujian undang-undang, sudah setara keberlakuannya dengan
pembentukan undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat bersama-sama dengan Presiden.
202 Konstitusionalisme Agraria