Page 47 - Konstitusionalisme Agraria
P. 47
juga Herman Willem Daendels dengan dukungan Muntinghe dalam
menelurkan kebijakan pertanahan di Jawa pada permulaan abad
19. Demikian pula dengan sebuah hasil penelitian yang fenomenal
pada masa kolonial lahir dari Cornelis Van Vollenhoven berjudul De
Indonesier en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya) berbentuk
sebuah pamflet yang diterbitkan tahun 1923 untuk menentang
rancangan amandemen Pasal 62 Regeringsreglement 1854 (Konstitusi
Hindia Belanda 1854) yang dianjurkan G.J. Nolst Trenite (penasihat
hukum masalah agraria di Binnenlands Bestuur) pada bulan Mei 1918
pada Tweede Kamer Belanda.
Dalam dua dekade terakhir ini juga terdapat beberapa
penelitian berbentuk skripsi, tesis dan disertasi yang membahas
hubungan penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam
lainnya. Sebagai contoh, Abrar Saleng salah satunya menulis
disertasi dengan judul Hak Penguasaan Negara atas Pertambangan
Berdasarkan UUD 1945. Disertasi pada tahun 1999 di Universitas
Padjajaran tersebut menyimpulkan bahwa hak penguasaan negara
atas pertambangan berbeda dengan hak penguasaan negara atas
tanah. Perbedaan tersebut karena pada tanah terdapat dimensi yang
lebih kompleks dibandingkan pertambangan, terutama berkaitan
dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan religius. Selanjutnya
Rikardo Simarmata menuliskan skripsi yang kemudian dijadikan
buku dengan judul: Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan
Tanah Oleh Negara (2002). Di dalam penelitiannya, Simarmata
menyimpulkan bahwa perkembangan konsep tentang pemilikan
tanah oleh negara disebabkan oleh perluasan kapitalisme-agraria
terutama melalui usaha-usaha perkebunan.
Aslan Noor pada tahun 2003 menulis disertasi di universitas
yang sama dengan judul: Konsepsi Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa
Indonesia, Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia. Aslan Noor
menyimpulkan bahwa hak milik dan hak milik bangsa Indonesia
sebagai hak asasi belum memperoleh tempat yang memadai dalam
sistem hukum pertanahan di Indonesia. Konsepsi hak milik yang
khas bangsa Indonesia seharusnya menjadi dasar bagi pengaturan,
pengurusan dan pengawasan negara atas tanah karena pada
16 Konstitusionalisme Agraria