Page 69 - Konstitusionalisme Agraria
P. 69
konsesi tambang Belanda yang telah ditinggalkan pemiliknya
dan telah diduduki oleh serikat-serikat Buruh juga diminta
untuk meninggalkan kantor-kantor yang diduduki. Keadaan ini
kemudianmenimbulkan terjadi bentrokan di wilayah-wilayah bekas
lahan perusahan perkebunan dan pertambangan belanda.
Dengan adanya kesepakatan yang “mengusir” rakyat yang telah
menggarap lahan-lahan bekas onderneming, maka dapat dipahami
bahwa tujuan dari KMB adalah mengamankan milik perusahaan
Belanda yang masih ada di Indonesia. Oleh karena itulah di dalam
Konstitusi RIS yang dihasilkan melalui KMB tidak mengatur tentang
hubungan penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam
sebagaimana ada dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal ini karena Belanda
memang tidak menghendaki kekuasaan yang besar dari Republik
Indonesia proklamasi.
Boleh dikatakan bahwa dengan berlakunya Konstitusi RIS
terjadilah “dekonstitusionalisasi agraria” di Indonesia. Alih-alih
mengatur tentang konsepsi hubungan penguasaan negara atas
agraria, Konstitusi RIS malah mengatur tentang hak (individu
dan kolektif) berkaitan dengan kepemilikan. Rumusan ketentuan
yang ada menjadi upaya untuk melindungi hak-hak kepemilikan,
termasuk atas tanah supaya tidak bisa semena-mena dirampas oleh
pihak lain. Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2)
Konstitusi RIS yang menyatakan:
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik milik pribadi
maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan semena-
mena.
Pada intinya Pasal 25 ayat (1) Konstitusi RIS menyebutkan
perlindungan terhadap hak milik pribadi maupun bersama-
sama dari rakyat Indonesia. Ketentuan ini menjadi tautan bagi
kepemilikan bersama masyarakat adat atas wilayah hidupnya.
Meskipun sebenarnya antara hak milik dengan hak ulayat tidak
mudah dipersamakan. Selain ketentuan di atas, Konstitusi RIS secara
implisit mendelegasikan supaya dibuat aturan lebih lanjut tentang
38 Konstitusionalisme Agraria