Page 38 - Tanah dan Ruang untuk Keadilan dan Kemakmuran Rakyat
P. 38

dan  perbuatan  melawan  hukum  untuk  memperoleh  nilai
                 ekonomi  langsung  (bribery &illicit enrichment);  pengaturan
                 yang  memberikan  keluasaan  bergerak  bagi  pemburu  rente
                 (rent seeking & state capture); dan pengaburan dimensi publik
                 -privat  untuk  membangun  potensi  konflik  kepentingan
                 (conflict of interests) (Nagara 2015).
                       Berbagai  praktik  korupsi  tersebut  terjadi  bukan  oleh
                 karena  ketiadaan  aktor  negara.  Sebaliknya,  Robbins  (2000)
                 mengemukakan  bahwa  korupsi  yang  terinstitusionalisasi
                 seperti  modus  –  modus  yang  telah  disebutkan  sebelumnya
                 justru  terjadi  dengan  melibatkan  aparat  negara  yang  mem-
                 punyai  monopoli  penguasaan  atas  sumber  daya.  Hal  ini
                 selaras  dengan  apa  yang  dikemukakan  oleh  Kartodihardjo
                 (2017)  di  mana  regulasi  perizinan  yang  menetapkan
                 kewenangan,  rekomendasi  dan  pemberian  izin  disertai
                 dengan  diskresi  luas  dan  pelaksanaan  peraturan  yang  tidak
                 transparan.  Di  lain  sisi,  faktor  rent atau  manfaat  yang  me-
                 motivasi  tindakan  serta  opportunity (peluang)  juga  merupa-
                 kan  prakondisi  terciptanya  korupsi  di  sektor  sumber  daya
                 agraria (Kolstad & Søreide 2009).
                       Implikasi  yang  kemudian  muncul  atas  terjadinya
                 korupsi  di  sektor  sumber  daya  agrarian  di  antaranya:  ke-
                 rugian  pendapatan  negara  dari  sektor  pajak  maupun  pe-
                 nerimaan negara bukan pajak, deforestasi dan degradasi lahan
                 yang terjadi secara masif dan peminggiran akses masyarakat
                 atas sumber-sumber daya agraria oleh sebab tindakan aparat
                 dan regulasi yang tercipta tidak adil. Untuk yang terakhir ini,
                 Komisi  Pemberantasan  Korupsi  (2015)  menyebut  terjadinya
                 ketimpangan pengelolaan hutan oleh kepentingan skala besar
                 di  mana  hanya  3,18%  yang  dialokasikan  untuk  skala  kecil.


                                                                      7
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43