Page 117 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 117
penambangan diambil oleh salah seorang warga Kecamatan Mirit
di kantor kecamatan. Dengan berkoordinasi dengan koordinator
desa, koordinator kecamatan, dan forum pemuda, FPPKS mulai
mengembuskan permasalahan yang mengancam mereka.
Alasan FPPKS menolak adanya penambangan pasir
besi terkait dengan dampak-dampak penambangan, seperti
dampak lingkungan, hilangnya wilayah pertanian yang menjadi
mata pencaharian penduduk setempat, dan persoalan klaim
kepemilikan tanah yang belum tuntas. Berikut yang dituturkan
oleh Seniman, Koordinator FPPKS:
“Alasan menolak: satu, karena persoalan tanah belum selesai. Dua,
tanah akan terancam hilang dengan adanya penambahan tanah
yang diklaim TNI. Karena pada dasarnya, di dalam perencanaan
penambangan ada tanah milik TNI, padahal kami tidak mengakui
ada tanah milik TNI. Jadi persoalan di pesisir selatan adalah
masalah tanah. Selain itu, rencana pasir besi akan menghilangkan
blok kuburan. Kalau pemanfaatan blok kuburan, lebih dari 40
desa. Wawancara Seniman, Koordinator FPPKS
Salah satu anggota DPRD dari Fraksi Partai Golongan Karya,
Mohammad Kiki Wahid Purnomo, berpendapat bahwa gejolak yang
timbul di masyarakat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena
banyak makam di sana. Wilayah pesisir selatan digunakan sebagai
tempat pemakaman warga. Kedua, Urutsewu merupakan wilayah
pertanian yang sekarang semakin maju bila dibandingkan dengan masa
sebelumnya. Ketiga, ancaman kerusakan lingkungan yang luar biasa.
Ia mencontohkan Kabupaten Cilacap yang dianggap yang terbaik
dalam hal reklamasi lingkungan, namun kenyataannya lingkungannya
rusak dan iklimnya menjadi panas. Menurutnya, beberapa hal inilah
yang membuat masyarakat Kecamatan Mirit menolak penambangan
63
pasir besi.
63 Wawancara Mohammad Kiki Wahid Purnomo, anggota Fraksi Partai Golongan
92 Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik