Page 186 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 186
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 159
erfpacht’ serta ‘rechts van opstal’.
Akan tetapi, Van Vollenhoven dan Ter Haar,
memperingatkan agar penegakkan teori ‘domeinverklaring’
itu di luar Jawa-Madura, hendaknya dilakukan secara hati-
hati dan tidak tergesa-gesa, karena di daerah-daerah itu
masih kuat berlakunya Hukum Pertanahan Adat. Kuatnya
Hukum Pertanahan Adat (beschikkingrecht), menyebabkan
tanah diatur berdasarkan hak kepemilikan bersama, seperti di
Minangkabau yang disebut ‘hak basamo’, tetapi dalam kosa
kata bahasa hukum adat Minangkabau disebut ‘hak ulayat’.
Sedangkan di Ambon, hak serupa dikenal dengan nama
‘hak patuanan’, di Ceram, ‘nuru’, di Jawa, ‘wewengkon’, dan
sebagainya. Hak mana, oleh Nols Trenite, disebut dengan
menggunakan istilah yang digunakan Van Vollenhoven
yaitu ‘communaal grond’, namun dengan makna penegertian
yang berbeda dari yang dimaksud Van Vollenhoven, dan
‘communaal recht’ (hak komunal) untuk jenis haknya.
Untuk mengembang sanggahan atas teori ‘beschkkingsrecht’-
nya Van Vollenhoven, Nols Trenite mengemukakan satu
teori ‘tanah hutan belukar’ (woeste grond theorie). Perdebatan
kemudian berpusat pada masalah letak batas tanah
‘komunal’ yang oleh Nols Trenite disebut ‘communaal grond’,
sambil menggunakan sebagai contohnya adalah ‘hak ulayat’
di Minangkabau serta hak-hak lainnya yang serupa seperti
‘nuru’, ‘wewengkon’, ‘hak patuanan’, dsb.
Tujuan Nols Trenite, adalah untuk menegakkan peraturan
pernyataan ‘domeinverklaring’ di Sumatra Barat (Minangkabau)
yang sudah diatur dalam S. 1875 No. 199a, sehingga teori
tanah milik Negara (landsdomein), bisa diterapkan di Sumatra
Barat (Minangkabau). Namun Nols Trenite menyadari
bahwa sistim dan struktur hukum adat Minangkabau
dikuasai oleh ‘tanah komunal’ (communaal grond) dengan
hak kepemilikan yang disebutnya ‘hak komunal’ (communaal
recht) dan dalam istilah adat Minangkabau disebut ‘haq
ulayat’. Untuk mengatasi kesulitan pemisahan antara ‘tanah