Page 189 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 189
162 Herman Soesangobeng
keperluan adat mereka,
j. Mengukur luas dan membuat gambar bidang
tanahnya, bagi penerbitan hak ‘erfpacht’-nya.
2. Kepada pengusaha Belanda yang mendapatkan izin,
diwajibkan pemerintah Belanda untuk:
a. Membayar uang ucapan terimakasih kepada
masyarakat hukum adat, karena telah berkenan
menerima perusahaan asing Belanda, memakai tanah
ulayat bagi usaha perkebunannya. Uang ucapan
terimakasih itu disebut ‘geldelijk baten’.
b. Membayar uang bulanan ‘nagari fonds’ kepada
masyarakat desa,
c. Membangun jalan masuk ke tempat-tempat keramat,
kuburan, tempat pemandian masyarakat,
d. Mewajibkan pengusaha perkebunan untuk memasang
patok-patok batas tanah yang disebut ‘tanah enklaf’
(enclave grond) seperti area tanah keramat, kuburan,
tempat pemandian,
e. Membangun gorong-gorong, jalan desa, dan sebagainya.
Demikianlah kearifan pemerintah Belanda, dalam
memperoleh tanah ulayat adat di Minangkabau untuk
para pengusaha perkebunan di Sumatra Barat, setelah
perang Batusangkar. Demikian pula salah satu pengalaman
penegakkan perluasan teori ‘domeinverklaring’ Belanda di
Sumatra Barat. Sedangkan di daerah Sulawesi, Kalimantan,
tidak mendapatkan perlawanan berarti dari masyarakat,
karena pemerintah Belanda sudah menjadi lebih arif dalam
menegakkan teori ‘domeinverklaring’ di daerah-daerah luar Jawa
dan Madura. Perlawanan di daerah lain juga tidak banyak
terjadi, karena pemerintah Belanda menlakukannya dengan
jalan perundingan dan kontrak perolehan tanah dengan
para Raja lokal, yang dikenal dengan ‘kontrak panjang’