Page 187 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 187

160     Herman Soesangobeng

                 komunal’  adat Minangkabau dengan tanah milik  Negara
                 yang bisa dinyatakan sebagai ‘tanah  milik  Negara bebas’
                 (vrij landsdomein), Nols  Trenite mengembangkan teori yang
                 disebutnya ‘de woeste grond theorie’. Teori ini mengatakan bahwa:
                 “antara batas tanah ulayat satu dengan lainnya, ada daerah
                 kosong berupa hutan belukar yang tidak termasuk kekuasaan
                 masyarakat hukum adat”. Maka teori Nols Trenite itu dikenal
                 juga sebagai teori ‘batas ulayat’. Dengan teori ‘woeste grond’
                 itulah, Nols Trenite mengatakan bahwa daerah hutan belukar
                 tak berpenghuni itulah, yang merupakan area bebas sehingga
                 bisa dikategorikan menjadi  ‘tanah milik  Negara bebas (vrij
                 landsdomein).  Dengan  demikian,  di  daerah  hutan  belukar
                 itulah  pemerintah  Hindia  Belanda  bisa memberikannya
                 kepada pengusaha besar Belanda untuk mengembangkan
                 perkebunan dengan hak ‘erfpacht’.
                    Van Vollenhoven, Ter Haar dan para pendukung Hukum
                 Adat, menyanggah  dengan  mengatakan  bahwa:  “akhir  dari
                 batas  ulayat  satu, adalah langsung merupakan batas ulayat
                 lainnya”. Dengan demikian, dalam Hukum  Pertanahan  Adat
                 Minangkabau,  tidak  dikenal  adanya  tanah  ‘tak bertuan’
                 (res nullius). Karena semua tanah dalam wilayah kekuasaan
                 masyarakat   hukum   adat,   adalah   tanah   milik  masyarakat
                 hukum. Jadi pemerintah  Hindia  Belanda,  perlu  berhati-
                 hati  sebelum menetapkan area-area hutan  belukar  menjadi
                 tanah milik  Negara  bebas (vrij landsdomein), untuk  diberikan
                 kepada pengusaha besar Belanda dengan  hak  agraria Belanda
                 ‘erfpacht’ dan ‘recht van opstal’.
                    Akan tetapi pandangan Van Vollenhoven dan Ter Haar itu
                 diabaikan Nols Trenite.   Maka   pemerintah   Belanda   lalu
                 dengan   bebas   mengizinkan pengusaha perkebunan Belanda
                 untuk membukan lahan perkebunan di Minangkabau, tanpa
                 harus berunding  dan  meminta  izin  dari  tua-tua  penghulu
                 adat Minang. Hal mana lalu menimbulkan perlawanan  besar
                 yang dikenal sebagai ‘perang Batusangkar’  pada tahun 1929.
                 Pengalaman pahit mana,  menyebabkan S. 1875 No. 199a,
   182   183   184   185   186   187   188   189   190   191   192