Page 183 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 183

156     Herman Soesangobeng

                 menggunakan kalimat ‘mencabut buku ke-II’, maka berarti
                 semua ketentuan  dan  norma  dalam  buku  ke  II  KUHPInd.
                 dan norma kaitannya tentang ‘perikatan’ dalam buku
                 ke  –III  pun  menjadi  tidak  mengikat  lagi sebagai Undang-
                 Undang hukum perdata mengenai pertanahan dan hubungan
                 keagrariaan.  Apalagi  Pasal  2  ayat  2  huruf  c,  UU  No.  5/1960
                 dengan tegas menetapkan  norma  bahwa “…berdasarkan
                 hak menguasai dari Negara, maka Negara berwenang untuk
                 menentukan  dan menetapkan hubungan-hubungan  hukum
                 antara  orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum   atas
                 tanah”. Maka  Buku  ke-III  KUHPInd.  tentang  ‘Perikatan’
                 pun menjadi  tidak  memiliki  kekuatan  hukum  mengikatnya
                 sebagai Undang-Undang. Ketentuan itu pun berarti   bahwa
                 dasar hukum berlakunya kewenangan Notaris untuk membuat
                 ‘akta tanah’, pun hapus.
                    Kesalahan Notaris membuat akta jual beli ‘kedok’, pun
                 disebabkan karena Notaris tidak menyadari   bahkan tidak
                 mengetahui  bahwa pembuatan  akta ‘strooman’ itu pada masa
                 Hindia Belanda, pun dinyatakan sebagai  perbuatan pidana
                 ‘pelanggaran’ (overtreding), yang diancam sanksi pidana
                 berdasarkan Pasal 489 WvS (Wetboek van Strafrecht). Namun
                 karena keawaman Notaris akan ketentuan hukum Belanda
                 dan karena kepatuhannya tanpa kritik  pada  filosofi dan
                 ajaran hukum perdata BW/KUHPInd., maka Notaris dengan
                 mudahnya membuatkan AJB antara orang asing (WNA)
                 dengan WNI  atas tanah,  tanpa  menyadari  pelanggaran
                 hukum yang dilakukannya. Kesadaran tentang  pelanggaran
                 pidana  itu tidak  disadari  Notaris,  karena  pada  masa Hindia
                 Belanda pun, pelanggaran hukum atas perjanjian ‘strooman’
                 itu hanya diputus hakim untuk aspek perbuatan perdatanya
                 saja, sementara  aspek perbuatan  pidananya  diabaikan.
                 Beberapa  Arrest  atau keputusan hakim  Hooggerechtshof
                 tahun 1930,  1933  di Batavia,  Landraad  Indramayu  tahun
                 1933,  Landraad  Salatiga tahun 1935,  Malang tahun 1937,
                 membuktikan hal itu. Jadi Notaris Indonesia di masa setelah
   178   179   180   181   182   183   184   185   186   187   188