Page 180 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 180

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     153


                    atas tanah milik  Negara yang dikuasai  serta diduduki
                    orang Bumiputra  (onvrij landsdomein).  Hak-hak penduduk
                    Bumiputra itu, menurut Pasal 7 Agrarische Wet 1870, harus
                    dijaga agar tidak habis dibeli dan dimiliki  orang Belanda,
                    Eropah maupun  Timur  Asing.  Perlindungan  kepentingan
                    hak-hak orang Bumiputra itu, dilindungi pemerintah dengan
                    mengeluarkan  peraturan  hukum  yang disebut larangan
                    pengasingan tanah (Grondvervreemdingsverbod – S. 1875
                    /179).  Akan tetapi larangan itu sering dilanggar dengan
                    jalan melakukan perbuatan hukum ‘kedok’ (strooman), yaitu
                    seorang laki-laki Belanda, Eropah atau Timur Asing  menikahi
                    perempuan  Bumiputra  sehingga tanahnya tampak  tetap
                    dikuasai dan diduduki perempuan orang Bumiputra, namun
                    sebenarnya telah dimiliki  pembeli yang  orang Belanda,
                    Eropah  ataupun  Timur  Asing.  Perbuatan  penyimpangan
                    hukum ini kemudian dikenal sebagai lembaga ‘kedok
                    laki-laki’ (stroomanen), atau  bilamana perempuan Belanda
                    ataupun  Eropah yang menikahi  laki-laki Bumiputra,  maka
                    disebut ‘kedok perempuan’ (stoovrouw). Perbuatan- perbuatan
                    hukum ‘kedok’ itu melanggar hukum dan dikategorikan
                    sebagai perbuatan  pidana  yang  merupakan  ‘pelanggaran’
                    (overtredingen)  bukan ‘kejahatan’  (delict).  Pelanggaran mana
                    sukar diselesaikan karena pembuktian pelanggarannya
                    sukar dibuktikan, sebab  ‘perkawinannya’ sering dikelabui
                    dengan kedok ‘hidup bersama’ (samenleven) yang di kalangan
                    masyarakat Betawi lazim disebut ‘nyai’.
                       Untuk mengatasi kesulitan hubungan keagrariaan itulah,
                    maka Kollewijn mengembangkan  teorinya  tentang  ‘titik
                    pertalian  primer’.  Titik  pertalian  itu dilihat pada kedudukan
                    hukum tanah dan orang yang bertransaksi hukum. Dalam hal
                    itu hubungan antar golongan (intergentiel  betrekkingen),  terjadi
                    ketika dua orang yang tunduk pada  dua sistim  hukum yang
                    berbeda, melakukan perbuatan hukum atas tanah yang
                    berbeda juga status hukumnya. Jelasnya, bilamana  seorang
                    Belanda  atau  Timur  Asing  yang tunduk pada hukum BW/
   175   176   177   178   179   180   181   182   183   184   185