Page 177 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 177
150 Herman Soesangobeng
hak ‘milik agraria’ (agrarisch eigendom). Menurut pasal 4 AW,
hak ‘agrarisch eigendom’ itu tidak tunduk pada ketentuan-
ketentuan BW. Hakekat hak ‘milik agraria’ itu, merupakan
penerjemahan kembali atas hak ‘milik adat’ (erflijk individueel
bezit) yang oleh Ter Haar dibedakan menurut sifat pewarisan
dan cara memperolehnya. Menurut sifat pewarisannya yang
bersifat turun temurun maka Ter Haar menyebutnya ‘hak
milik pribadi turun temurun’ (erflijk individueel bezitrecht) .
40
Sedangkan menurut cara perolehannya, hak milik adat
itu disebut Ter Haar ‘hak milik pribumi’ (Indlands bezitrecht) .
41
Hak milik pribumi (Indlands bezitsrecht) itu lahir melalui cara
menanam pohon-pohon tanaman keras seperti kopi secara
rapat, sehingga tanah seluruhnya tertutup oleh bayangan
matahari di waktu siang, maka daerah yang tertutup
bayangan pohon itu diklaim secara hukum adat menjadi
milik penanam pohonnya. Lembaga ini disebut ‘busuran’
di Jawa Timur . Kedua jenis hak ‘milik adat’ ini, dipahami
42
pemerintah Belanda, sama kekuatan hukumnya dengan
hak ‘eigendom’ namun hanya berlaku untuk penduduk orang
Bumiputra saja.
Maka hak ‘milik adat’ itu tidak bisa secara otomatis
dinyatakan setara kedudukan hukumnya dengan hak
‘eigendom’ yang diatur dalam Pasal 570 KUHPInd. Adapun
kendala utamanya adalah: pertama, karena dasar politik
hukum Negara Hindia Belanda, mengucilkan golongan
penduduk Bumiputra untuk tunduk pada hukum perdata
Belanda; dan kedua, karena orang Bumiputra dipandang
masih belum layak masuk dalam pergaulan hidup yang sama
seperti orang Belanda. Dengan demikian, perubahan hak
‘milik adat’ menjadi sama dengan hak ‘eigendom’, harus
dilakukan secara perlahan-lahan serta secara bertahap,
sampai orang Bumiputra mengenal dan berpikir sama seperti
40 B. Ter Haar Bzn., Beginselen en stelsel van het adatrecht, hlmn. 59.
41 B. Ter Haar Bzn., op cit., hlmn. 58.
42 B. Ter Haar Bzn., op cit.