Page 175 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 175

148     Herman Soesangobeng

                 eigendom’  yang digunakan  pemegangnya sebagai alat bukti,
                 tanpa mampu diuji kebenaran serta keabsahannya oleh para
                 penegak  hukum.  Pejabat hukum  umumnya,  tidak  terbiasa
                 untuk menguji apakah ‘acte van eigendom’  yang  dihadapinya
                 adalah  ‘acte’  yang  ‘batal  dengan  sendirinya’ (nietig eo ipso)
                 atau ‘batal demi hukum’ (nietig van rechtswege). Juga apakah
                 ‘acte van eigendom’  itu  sudah memiliki  sifat  ‘prima  faciae’,
                 ataukah hanya merupakan ‘acte’ dengan hak milik ‘eigendom
                 anggapan’ (notarieele acte van vermoedelijke recht van eigendom),
                 sehingga harus ditolak sebagai alat pembuktian hak ‘eigendom’
                 dalam persidangan  Pengadilan Negeri, karena cacat hukum.
                    Demikian  pula Notaris, seharusnya meneliti  nilai
                 keabsahan ‘acte van eigendom’, sebelum membuat ‘acte koop en
                 verkoop’ (akta jual beli), untuk memastikan bahwa ‘acte van
                 eigendom’  yang digunakan  sebagai dasar kepemilikan  tanah
                 dengan  hak  ‘eigendom’  itu  cacad  hukum  atau  tidak, sehingga
                 layak digunakan sebagai alasan sah menurut hukum (rechts
                 title) bagi pembuatan akta jual belinya. Penelitian keabsahan
                 ‘acte van eigendom’ itu sangat diperlukan karena ‘acte koop en
                 verkoop’ itu, akan menjadi ‘rechts titel’ bagi peralihan  hak  atas
                 tanah  yang  tunduk  pada ajaran  ‘juridische levering’ yaitu asas
                 ‘nemo plus juris’, yang lengkapnya berbunyi: ‘nemo plus juris ad
                 allium  transferre potast quam  ipse habet/haberet’ artinya ‘orang
                 tidak  dapat mengalihkan atau menyerahkan  hak kepada
                 orang lain lebih besar dari hak yang dimilikinya sendiri’ .
                                                                   38
                38   Asas ‘nemo plus  juris’,  ini  dalam  pelajaran  pendaftaran  tanah
            kadasteral  di  Indonesia, diajarkan  sebagai  asas  ‘publisitas’  (publiciteit
            beginsel) yaitu  pengumuman  hasil  ukur berserta  gambar bidang tanah
            dalam   peta  ukur  kepada  masyarakat   selama jangka  waktu tertentu.
            Setelah  masa tenggang/tenggat  waktu  itu lewat  dan tidak  ada sangkalan
            untuk perbaikan dari pemilik tanah, maka hasil ukur dan gambar bidang
            tanah itu dianggap telah sah  karena telah diterima  baik oleh pemilik
            tanah yang bersangkutan. Maka asas publisitas itu pun dihargai sebagai
            salah  satu bentuk pengesahan hukum atas keabsahan (validita) hasil
            ukur, karena telah diakui dan diterima kebenaran hasilnya oleh pemilik.
            Padahal, asas ‘nemo plus juris’ yang diwarisi dari ajaran hukum Romawi
            itu, mengajarkan soal peralihan hak atas tanah dalam hal ini seorang yang
            bukan pemilik tanah, tidak dapat mengalihkan hak yang lebih kuat dan
   170   171   172   173   174   175   176   177   178   179   180