Page 181 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 181

154     Herman Soesangobeng

                 KUHPInd. melakukan transaksi jual beli tanah yang tunduk
                 pada  Hukum  Adat  (tanah  Adat),  maka  lahirlah  hubungan
                 antar  golongan,  yang menyebabkan timbulnya  pertanyaan
                 hukum  manakah yang dipilih bagi penyelesaian perbuatan
                 hukum  mereka.  Dengan demikian,  tanah menjadi  ‘titik
                 pertalian primer’ karena kedudukan  hukum tanah menjadi
                 factor penentu pilihan hukumnya. Maka sehubungan dengan
                 adanya S. 1875/179 tentang Grondvervreemdingsverbod, maka
                 tanah adat yang menjadi  ‘titik taut primer’  menunjukkan
                 bahwa  pilihan  hukumnya  adalah  Hukum  Pertanahan
                 Adat, sehingga tanah yang dibeli orang Belanda atau timur
                 Asing itu tetap berstatus hukum tanah Adat. Tanahnya tidak
                 boleh beralih status hukum menjadi tanah Barat, sekalipun
                 dikuasai dan dimiliki pembeli yang orang Belanda ataupun
                 Timur Asing.
            7.1. Pelanggaran Notaris, membuat pejanjian ‘kedok’ setelah
                 Kemerdekaan Indonesia:
                    Kebiasaan Notaris melanggar hukum dalam pembuat
                 ‘notareel acte’ sejak masa Hindia Belanda, terus dilakukannya
                 sampai  saat ini  setelah kemerdekaan  Indonesia  dan
                 berlakunya UU No. 5/1960 (UUPA 1960). Pelanggaran   itu
                 dilakukannya melalui penggunaan lembaga perjanjian ‘kedok’
                 (strooman), dalam membuat perjanjian pembelian tanah oleh
                 orang asing (WNA= Warga Negara Asing) atas tanah. Akta
                 jual beli ‘kedok’ bisa dibuat Notaris, bagi perbuatan hukum
                 dalam  hal ini  seorang laki-laki WNA  menikahi  perempuan
                 Indonesia  –WNI-, dengan mengatasnamakan  istrinya yang
                 WNI. Atau bisa juga seorang WNA, membeli tanah tetapi
                 dalam akta AJB-nya  tercatat atas nama seorang WNI.
                 Sebelum dibuatkan akta AJB oleh Notaris, biasanya antara
                 pembeli  WNA  dengan  WNI,  telah sepakat  bahwa si WNI
                 hanya menjadi pemilik semu sementara pemilik sebenarnya
                 adalah si WNA penyedia dana pembelian tanah. Kejadian
                 ini banyak terjadi di pulau Bali dan Lombok, karena di
   176   177   178   179   180   181   182   183   184   185   186