Page 199 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 199

172     Herman Soesangobeng

                 enam  sifat khas  Hukum  Adat,  tidak mengenal  konsep
                 ‘beschikken’  dalam hukum   perdata  Belanda/BW-KUHPInd.,
                 sebagai  kewenangan   penguasa untuk berhak menjual lepas
                 tanahnya kepada fihak lain untuk selamanya.
                    Adapun alasan kedua, timbul karena adanya perbedaan
                 pendapat  mengenai  batas tanah  masyarakat  dengan  hak
                 komunal, dalam hal ini ‘hak ulayat’ digunakan  sebagai
                 contoh,  seperti  telah dijelaskan pada  Bab.  V  angka 8,
                 halaman 142.  Kesalahpahaman  itu,  menyebabkan  istilah
                 ‘beschikkingsrecht’  tidak  dipandang sebagai teori  hukum
                 adat, melainkan sama dengan ‘hak ulayat’ yang bersifat
                 komunal di Minangkabau.
                    Padahal, istilah kata  komunal, seperti  yang ditafsirkan
                 di Eropah Barat dan Timur, menurut pendapat Pemerintah
                 RI ketika menjawab pertanyaan anggota Seksi Tani DPR RI
                 tahun 1950  tentang keberadaan ‘tanah dan hak komunal’,
                 dijawab Pemerintah RI bahwa ‘tanah dan hak komunal’ itu
                 tidak dikenal di Indonesia . Gongrijp , menjeaskan bahwa
                                         10
                                                    11
                 istilah ‘communaal’ itu, diperkenalkan oleh  para pengusaha
                 besar Belanda, untuk bisa mendapatkan tenaga kerja murah
                 dan mudah guna dipekerjakan di perusahaannya.   Demikian
                 pula  Van   Vollenhoven,   ketika   melukiskan hubungan
                 hak kebersamaan  dari masyarakat  Jawa   maupun  dalam
                                                      12
                 teori ‘beschikkingsrecht’-nya , tidak  menggunakan  istilah
                                         13
                 ‘communaal  grond’    atau ‘communaal recht’, melainkan
                 ‘communaal bezit’ dalam arti ‘kepunyaan bersama’ yang
                 juga berarti ‘milik bersama’. Jenis hak itu, di Minangkabau
                 disebut ‘milik  basamo’,  atau di  Jawa disebut ‘gadahe tiang
                10   R. Ardiwilaga, Ibid., hlmn. 31
                11   G. Gonggrijp,  Over  de  invloed van het Westerse  grootbedrijf  op de
            inhemse samenleving in Nederlands-Indie, Pidato pengukuhan Guru Besar
            pada Universitas Amsterdam dalam bidang Ekonomi Kolonial, diucapkan
            pada 24 November 1930, Haarlem: N/V H.D. Tjeenk Willink & Zoon,
            1930, hlmn. 6
                12   C. van Vollenhoven, ‘De Javaansche akkergemeenschap en het
            adatrecht’, dlm. Verslagen van het Indisch Genootschap – VIG, 16/1/1920
                13   C. van Vollenhoven, De Indonesier en zijn grond, ibid., hlmn. 9
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204