Page 221 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 221
194 Herman Soesangobeng
agraria orang Jawa. Dalam tulisan itu, Van Vollenhoven
40
jelaskan bagaimana bentuk dan sifat kebersamaan orang
Jawa dalam hubungan keagrariaan mereka. Digambarkannya
tentang bentuk kebersamaan mengolah tanah pertanian
melalui kegiatan kelompok bersama di antara para tetangga,
maka Van Vollenhoven menggunakan istilah ‘communaal
group’, bukan ‘communaal recht’. Kelompok kerja bersama
itu, tidak harus terdiri atas para pemilik tanah dengan hak
bersama, melainkan oleh siapa saja yang merupakan tetangga
sekampung; sebab tujuannya, adalah agar tanah bisa
dikerjakan dan hasilnya dimanfaatkan untuk dinikmati.
Maka pemilik tanah, hanya berkewajiban menyiapkan
makanan dan minuman atau mengizinkan peserta kelompok
kerja untuk mengambil bagian tertentu dari hasil panen
sebagai upah kerja.
Melalui penjelasan tentang lembaga ‘kelompok kerja sama’
pertanian (akkergemeenschap) orang Jawa ini, Van Vollenhoven
menegaskan arti kata ‘communaal’ yang digunakan dalam
teori ‘beschikkingsrecht’-nya. Arti kata ‘communaal’ itu, bukan
dalam pengertian ‘hak milik komunal’ (communaal recht)
seperti yang ditafsirkan di Eropah dan Belanda; melainkan,
untuk sifat penguasaan bersama dalam kepunyaan tanah serta
penggunaannya dalam bentuk kerjasama pengelolaan tanah
pertanian. Karena itu, dalam tulisannya Van Vollenhoven
41
tentang hukum pertanahan adat Indonesia, dia menggunakan
istilah ‘communaal bezit’, dalam arti hak kepunyaan bersama
dari masyarakat hukum, untuk menyediakan tanah bagi
warganya supaya diduduki dan diusahakan dalam proses
menjadi hak milik terkuat dan terpenuh yang disebutnya
‘Inlands bezitrecht’. Jadi ‘hak milik bersama’ atau ‘milik basamo’
(Minangkabau) itu, tidak mengandung makna sebagai
hak milik atas harta kekayaannya, melainkan hanya sebagai
40 C. van Vollenhoven, ‘De Javaansche akkergemeenschap en het
adatrecht’, ibid.
41 C. van Vollenhoven, De Indonesier en zijn grond, ibid. hlmn. 20-21