Page 217 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 217
190 Herman Soesangobeng
en persoonlijk recht, staat in een noit einigende wisselwerking van
inkrimpen en uitzetten…” = hubungan timbalbalik antara
hak dan kekuasaan masyarakat dengan hak dan kekuasaan
perorangan, senantiasa berada dalam saling pengaruh
bertimbalbalik menguncup dan mengembang tanpa akhir.
20. Berdasarkan asas ‘pemisahan horisontal’ dengan teori
hubungan timbal balik tanpa akhir antara individu dengan
hak kekuasaan masyarakat inilah yang melahirkan ajaran
‘hak milik bersama’, yang dalam kepustakaan hukum adat
disebut ‘communaal bezitsrecht’ (hak milik komunal). Hak milik
bersama itu adalah suatu ‘hak agraria’ yang juga bermakna
keperdataan, namun tidak bermakna pemilikan sebagai
harta kekayaan. Hakekat sifat hubungan ‘hak agraria’ yang
merupakan ‘milik bersama’ itu dijelaskan Supomo dalam
tulisannya ‘Hubungan Individu dan Masyarakat dalam
Hukum Adat’. Supomo , sebagai berikut:
36
“…susunan hukum adat pada prinsipnya bermula pada
manusia yang terikat pada masyarakatnya. Paham hukum
tradisionil, bahwa individu pada asasnya merdeka
dalam laku perbuatannya, asal tidak melanggar batas-
batas hukum yang telah ditetapkan baginya, tidak
dikenal oleh hukum adat. Menurut hukum adat ini
individu tidak mempunyai hak-hak abstrak, melainkan
mempunyai kekuasaan-kekuasaan kongkrit sebagai
anggota dari persekutuan territorial (daerah tanah),
persekutuan genealogis (pertalian keturunan) dan/atau
persekutuan lain”.
Gambaran yang melukiskan bahwa susunan hukum adat
bermula dari manusia yang terikat pada masyarakatnya,
dan bahwa individu tidak mempunyai hak-hak abstrak
melainkan kekuasaan-kekuasaan kongkrit/nyata, itulah bukti
adanya hak-hak milik bersama yang dilukiskan para ahli
hukum adat Belanda dengan menggunakan istilah bahasa
hukum Belanda yatiu ‘communaal bezitsrecht’ yang padanan
36 R. Supomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum
Adat, Jakarta: RADNJA PARAMITA, 1970, hlmn. 12.