Page 214 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 214

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     187


                   dengan tanah dan alam semesta . Pejabat adat yang bertugas
                                                29
                   dan berwenang menjaga serta menjamin keamanan maupun
                   kepastian hubungan keperdataan dan publik dibidang
                   pertanahan dalam masyarakat hukum, secara umum disebut
                   ‘wali tanah’ (grondvoogd) .
                                         30
                       Wali  tanah  itu disebut  menurut istilah  adat  setempat
                    seperti di Jawa disebut ‘reksa bumi’, di Minangkabau  ’jarong’, di
                    Ambon-Lease ‘kepala kewang’ , di Timor dibedakan antara dua
                                             31
                    macam pejabat yaitu ‘penguasa roh’ (sacred lord) dan ‘penguasa
                    duniawi’ (secular lord) . Tugas dan kewenangan  pejabat hukum
                                      32
                    adat itu, umumnya meliputi urusan mengurus dan mengatur
                    tata  hubungan masyarakat  di  bidang hak keperdataan  dan
                    hak masyarakat/publik serta hubungan dengan alam roh pada
                    dunia  supernatural,  yang dalam  pemikiran  modern disebut
                    ‘agama’ (religion) oleh Malinowski . Pejabat dengan fungsi
                                                   33
                    dan  peran  mengurus bidang  urusan hak  keperdataan  dan
                    hak masyarakat/publik itu,  dikenal dengan sebutan ‘kepala
                    desa’ (Jawa), ‘geuchik’ (Aceh), ‘prebekel’ (Bali); sementara
                    pejabat untuk urusan hubungan supernatural, disebut ‘dukun’
                    (Jawa), ‘sanro’ (Sulawesi Selatan), dan sebagainya. Kedua
                    jenis pejabat ini, secara umum dalam tulisan para ahli hukum
                    adat,  disebut  ‘volkshoofden’  alias ‘kepala-kepala rakyat’, atau
                                            34
                    ‘kepala masyarakat’, atau ‘tua-tua adat’.
               17.  Dalam hubungannya dengan perbuatan hukum perjanjian,


                   29   R. Supomo,  Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit
               Universitas, 1962, hlmn. 53-54;  jo.  R.  Supomo,  Hubungan  Individu  dan
               Masjarakat  dalam  Hukum  Adat,  Jakarta: PRADNJA PARAMITA, 1970,
               hlmn. 10-12.
                   30   C.    Tj.    Bertling,  Pendeta    Tanah    Indonesia,    Seri  terjemahan
               KITLV-LIPI,  Jakarta:  Bhratara, 1974
                   31   B. Ter Haar Bzn., Beginselen en stlesel van het adatrecht, ibid., hlmn.
               66.
                   32   Clark C. Cunningham, Order  and  Change  in  an  Atoni  Diarchy.
               Southwestern  Journal  of Anthropology 21: 359-380, 1965.
                   33   Bronislaw Malinowski,  Magic, Science and Religion: And Other
               Essays, New York: Doubledays & Company.Inc., 1954.
                   34   B. Ter Haar Bzn., Beginselen en stlesel van het adatrecht, ibid., hlmn.
               45.
   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219