Page 227 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 227
200 Herman Soesangobeng
adat, tidak tercerabut habis dari akar-akar budaya dengan
rasa keadilan masyarakatnya yaitu rakyat Indonesia.
3. Model penerjemahan kembali dan penafsiran baru secara
kontemporer:
Model penerjemahan kembali dengan penafsiran
baru ini, adalah memberikan arti dengan makna baru
atas filosofi dasar hukum pertanahan adat Indonesia yang
dijelaskan Van Vollenhoven dalam teori ‘beschikkingsrecht’-
4
nya. Penerjemahan kembali dengan penafsiran baru itu,
tidak bersifat menjelaskan hakekat tepatnya isi dari norma-
norma maupun lembaga hukum adat tradisional untuk
dicari persamaan maupun padanannya dengan norma dan
lembaga hukum baru yang sudah berlaku sebagai hukum
positif dalam Negara RI. Model penerjemahan kembali
dan penafsiran baru ini, justru mempertautkan hakekat
filosofi hukum pertanahan adat dengan Pancasila dan
UUD 1945 sehubungan dengan perubahan struktur dan
oraganisasi sosial disertai perkembangan aspirasi masyarakat
Indonesia sebagai bangsa dan Negara merdeka. Karena itu
model penerjemahan kembali dengan penafsiran baru ini
disebut kontemporer, sebab disesuaikan dengan perubahan-
perubahan mendasar setelah kemerdekaan Indonesia.
Objek penerjemahan kembali dengan tafsiran baru ini,
bukanlah terhadap isi rumusan norma-norma adat tradisional,
melainkan terhadap jiwa yang menjadi filososi dan cara
pandang orang Indonesia yang sudah diterjemahkan menjadi
asas dan ajaran Hukum Pertanahan Adat tradisionalnya.
Dengan objek ini, berarti perbedaan isi rumusan norma
dengan nama kelembagaan hukum pertanahan serta
keagrariaan yang sangat beragam di Indonesia, pun tidak
merupakan hambatan bagi penerjemahan arti serta penafsiran
kontemporernya. Maka masalah pengaruh feodalisme maupun
4 Cf. C. Van Vollenhoven, Miskeningen van het adatrecht: Vier
voordrachten aan den Nederlandsch-Indische Bestuursacademie, ibid., hlmn.
19-20.