Page 229 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 229

202     Herman Soesangobeng

                 asing. Akibatnya,  rakyat melaksanakan  perbuatan  hukum
                 dengan jenis hak yang hanya  bisa diucapkan  dan dihafal
                 istilahnya  tanpa  paham  hakekat  isinya, sehingga terjadi
                 penyimpangan dalam penegakkannya yang menimbulkan
                 sengketa  tanpa  bisa  diselesaikan  dengan  baik  dan  adil
                 secara  beradab. Fakta inilah yang terjadi dengan konversi
                 hak-hak agraria Belanda ‘erfpacht’ dan ‘recht van opstal’ menjadi
                 ‘hak guna usaha’ (HGU) dan ‘hak guna bangunan’ (HGB)
                 oleh UU   No. 5/1960, yang menimbulkan sengketa menahun
                 (perennial conflict) antara rakyat-pengusaha dan pemerintah
                 atas tanah yang  berasal dari hak-hak  masyarakat adat.
                 Kedua  hak agraria  UUPA  1960  itu,  sekalipun  dirumuskan
                 dengan kalimat bahasa Indonesia,  namun filosofi, asas dan
                 ajarannya, bersumber pada filosofi, asas, ajaran dan teori hak
                 agraria  kolonial Belanda  yang di  Indonesia  dijadikan  hak
                 kebendaan (zakelijk recht) yaitu ‘erfpacht’ dan ‘rechts van opstal’
                 BW/KUHPInd.
                    Demikian  juga  dengan  penggunaan  istilah  ‘hak  ulayat’
                 untuk  seluruh wilayah Indonesia. Istilah bahasa hukum adat
                 itu, hanya dipahami dan dimengerti dengan baik oleh warga
                 masyarakat dalam masyarakat hukum  adat Minangkabau
                 yang bersistim hukum adat garis keibuan (matrilineal). Ketika
                 istilah hukum adat  Minangkabau itu  diberlakukan  secara
                 nasional terhadap  daerah-daerah hukum adat lainnya yang
                 bersistim hukum garis kebapakan (patrilineal)  dan  orang  tua
                 (parental),  apalagi  didasarkan  pada  anggapan dasar yang
                 keliru tentang ‘hak komunal’; maka rakyat di daerah-daerah
                 lain, hanya bisa menyebut istilah ‘hak ulayat’, tanpa mengerti
                 hakekat isi maupun  pertalian  hukumnya.  Maka di  daerah-
                 daerah di luar masyarakat hukum adat Minangkabau, istilah
                 ‘hak ulayat’ dipakai sebagai padanan istilah ‘hak adat’ atas
                 tanah  menurut adat setempat. Akibatnya,   timbul  kekacauan
                 dan sengketa yang tidak  bisa diselesaikan secara adil dan
                 beradab, sebab rakyat di luar masyarakat Minangkabau
                 tidak mengerti isinya istilah adat ‘hak ulayat’ itu, sehingga
   224   225   226   227   228   229   230   231   232   233   234