Page 120 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 120

Di sisi lain, discriminative-action dapat terjadi apabila sesama
            WNI yang dibedakan di hadapan hukum dan pemerintahan terutama
            dalam hal gender. Seperti yang terjadi pada kasus agraria di Indonesia
            yang pembahasannya selalu bergulir dari rezim ke rezim. Menuntutnya
            perempuan atas kesetaraan gender mengenai hak atas tanah bukanlah
            tanpa suatu sebab, karena mengingat perempuan selama ini mempunyai
            peran signifikan dalam pengelolaan tanah dan sumber agraria. Dalam
            pengelolaan lahan pertanian misalnya, perempuan berperan mulai dari
            pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Namun, peran
            produktif perempuan belum sepenuhnya diakui dan diperhitungkan.
                   Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia khususnya mengenai
            kesetaraan gender  masih  mengalami diskriminasi  dalam  praktik.
            Meskipun secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
            Tentang Pokok-Pokok Agraria tidak satupun pasal mengatur mengenai
            kepemilikan dan  penguasaan  hak atas  tanah  harus  laki-laki  atau
            perempuan. Justru UU tersebut menganut asas persamaan, sebagaimana
            tertuang dalam  Pasal  9 ayat  (2).  Akan  tetapi dapat dikatakan  benar
            adagium hukum Belanda, “Het Recht Hink Achter De Feiten Aan”, pada
            kenyataanya peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dengan
            perkembangan praktik kehidupan di masyarakat. Bahkan tidak jarang
            law as the social tools and engineering sebagaimana dikemukakan oleh
            Roscue Pound (Soedikno 2011, 28) seringkali tidak berjalan sebagaimana
            mestinya  dalam konteks negara hukum Indonesia  yang  tentunya
            mengelaborasikan  tiga  tujuan hukum meliputi kepastian,  keadilan
            dan kemanfaatan. Kenyataan dalam praktik dilapangan perempuanlah
            yang terpinggirkan dalam hal kepemilikan dan penguasaan hak atas
            tanah serta tidak mendapat manfaat dari hasilnya menjadi bukti belum
            sepenuhnya ada keadilan.
                   Kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah oleh kaum perempuan
            masih sangat sedikit,  terbukti  hingga saat  ini  masih  didominasi  oleh
            kaum laki-laki yang dianggap lebih unggul atau dianggap sebagai kepala
            keluarga. Seperti yang terjadi di Poso, pada Januari 2017 memperlihatkan
            bahwa 90% kepemilikan tanah atas nama laki-laki, hanya 10% atas nama
                                        100
   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124   125