Page 122 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 122
masa tersebut sekitar 60% petani tidak mengerjakan tanahnya sendiri
tetapi bekerja sebagai buruh tani atau mengerjakan tanah milik orang
lain dengan sistem sewa atau bagi hasil (Harsono 2005, 368-369).
Ketentuan Pasal 7 UUPA kemudian ditegaskan kembali dalam
Pasal 17 UUPA yang mengamanatkan pengaturan luas maksimum
dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak
atas tanah oleh suatu keluarga atau badan hukum. Penetapan luas
maksimum tersebut tidak ditentukan dalam UUPA, melainkan diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960 melaksanakan
apa yang telah diamanatkan dalam Pasal 17 UUPA tersebut dengan
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian,
yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang (selanjutnya
disebut UU Nomor 56PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian). UU tersebut membagi 4 (empat) jenis daerah, yaitu daerah-
daerah yang tidak padat (kepadatan penduduk sampai 50 tiap Km ),
2
luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15 hektar untuk
sawah atau 20 hektar untuk tanah kering. Selanjutnya, daerah-daerah
yang kurang padat (kepadatan penduduk 51 sampai 250 tiap Km ), luas
2
maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 10 hektar untuk sawah
atau 12 hektar untuk tanah kering.
Sementara itu, untuk daerah-daerah yang cukup padat
(kepadatan penduduk 251 sampai 400 tiap Km ) dan daerah-daerah
2
yang sangat padat (kepadatan penduduk 401 ke atas) adalah masing-
masing luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 7,5 hektar
untuk sawah atau 9 hektar untuk tanah kering dan luas maksimum
penguasaan tanah pertanian adalah 5 hektar untuk sawah atau 6 hektar
untuk tanah kering (Harsono 2005, 372).
Penjelasan diatas merupakan hak setiap orang, baik laki-laki
maupun perempuan untuk menguasai sebuah tanah, khususnya tanah
pertanian. Praktiknya pengaturan tersebut memiliki celah hukum,
102