Page 198 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 198

Pada umumnya petani di Daerah Istimewa Aceh adalah petani penggarap
            (mengerjakan  tanah  sendiri). Jumlah  petani  yang  memiliki  tanah  garapan
            cukup banyak mencapai 75-80%. Pemilikan tanah terpencar-pencar dengan
            unit yang kecil. Pengaruh dari sistem warisan telah mendorong kesatuan
            unit ini makin lama makin kecil dan terpencar-pencar. Luas sawah menurut
            pemilikan untuk setiap unit yang terkecil ± 0,08 hektar. Yang terbesar 1,5
            hektar. Rata-rata berkisar antara 0,3-0,4 hektar. Karena itu bisa seorang petani
            menggarap di dua atau tiga tempat, agar luas garapannya dapat mencapai ±1
            hektar.

                Di samping terdapat penggarap tanah sendiri juga terdapat petani
            menggarap tanah orang lain (owner part tenant). Pemilikan tanah lebih dari
            2 hektar merupakan hal yang jarang. Dalam satu desa dengan rumah tangga
            sekitar seratus keluarga pemilik yang memiliki tanah garapan lebih dari 2
            hektar, tidak lebih dari 2 orang. Ditinjau dari segi ini dapat dikatakan bahwa
            distribusi tanah di antara petani lebih merata. Petani yang tidak memiliki
            tanah garapan sangat kecil jumlahnya.
                Implikasi yang timbul daripada pemilikan tanah yang relatif merata ini,
            tapi kecil, menyebabkan mobilitas petani rendah sekali. Petani terikat batinnya
            dengan hak milik yang kecil. Akibat pemilikan tanah yang kecil dan letak
            terpencar-pencar, makan manajemen usaha tani manusia dan temak tidak
            efektif, biaya relatif tinggi dan produktivitas cenderung rendah, pemeliharaan
            dan perlindungan tanaman relatif sulit. Surplus yang dapat dipasarkan relatif
            kecil.

                Metode bagi hasil di antara penggarap dan pemilik pada umumnya
            tergantung pada mutu tanah, letak tanah, dan kondisi pengairan. Pada
            umumnya sistem bagi hasil berkisar antara, bagi dua, bagi tiga, dan bagi empat.
            Bilamana hasil panen dibagi dua, maka semua biaya produksi, kecuali biaya
            penggarapan tanah dipikul bersama. Bila biaya produksi dipikul seluruhnya
            oleh penggarap hasil dibagi tiga, dua untuk penggarap dan satu bagian untuk
            pemilik. Umumnya untuk sawah-sawah tadah hujan bagi hasil adalah 1:4 atau
            1:5, jika tanah sulit dikerjakan dan risiko hama lebih besar.
                Di samping cara bagi hasil terdapat juga bentuk sewa-menyewa. Biasanya
            baik bagi hasil maupun sewa-menyewa tidak pemah dibuat surat perjanjian.


                                           163
   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203