Page 298 - Mozaik Rupa Agraria
P. 298
intensif merangsang populasi manusia penganut agrarian culture
ala sawah lebih cepat bertambah, seiring dengan akumulasi
surplus panen yang dihasilkannya. Hal ini memungkinkan pasar
masuk, dan mengubah relasi sosial yang baru dengan kehadiran
penjual jasa: buruh tani, baik bersifat substitusi maupun dalam
hubungan patron klien sama sekali. Konsep hak milik melekat
dalam kebudayaan agraria pertanian intensif. Jawa adalah contoh
yang baik dalam menyimpan rekam jejak pertanian menuju
industri.
Lain halnya dengan Pulau Kalimantan yang merupakan
daratan dengan umur geologi tua (tidak banyak dijumpai gunung
berapi), unsur hara tidak terkandung dalam aliran sungai,
melainkan dalam vegetasi; sehingga untuk memanfaatkan
unsur hara tersebut penduduk setempat tidak membuat sawah
tetapi membuka ladang berpindah (umumnya tadah hujan).
Sistem ladang berpindah membawa konsekuensi, antara lain:
kecenderungan bertujuan subsistensi daripada memenuhi
kebutuhan industri, kecil kemungkinan akumulasi hasil produksi,
populuasi dipertahankan konstan atau laju pertambahan
penduduk komunitas tersebut rendah, batas-batas penguasaan
lahan ditentukan oleh sejauh mana perjalanan yang bersifat
siklus itu, metode pembakaran terkendali menjadi alternatif
untuk membuka lahan dan pelapukan sisa-sisa tumbuhan untuk
menyediakan nutrisi tanaman, relasi patronase dalam bentuk
determinan ekonomi kecil kemungkinan muncul tidak seperti
dalam sistem feodalism, kolonialisme dan kapitalisme umumnya.
Uraian tersebut menandaskan bahwa budidaya (cultivation)
lebih khusus lagi pertanian (agriculture)—sebagai bentuk
kebudayaan (culture) berbasis tanah (ager), adalah sistem-
sistem ekologi buatan yang secara langsung mengubah struktur
dan fungsi lingkungan, yang kemudian turut mengubah
Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 285