Page 306 - Mozaik Rupa Agraria
P. 306
tujuan ini pun termasuk tujuan pragmatis Reforma Agraria di era
Soekarno, sehingga modernisasi pertanian yang dikenal sebagai
Revolusi Hijau dipilih sebagai bentuk Reforma Agraria, dengan
demikian tidak perlu ada redistribusi lahan ketika target produksi
sudah dapat dicapai dengan intensifikasi. Perluasan lahan
pertanian pun dilaksanakan melalui ekstensifikasi pertanian
untuk membesarkan industri pertanian, bukan memperluas unit
usaha pertanian yang dikerjakan oleh rakyat melalui redistribusi
lahan dan perlindungan terhadap obyek-subyek Reforma Agraria.
Dengan demikian, menjadi masuk akal kenapa kebijakan agraria
Orde Baru tidak memerlukan UUPA sebagai payung hukum
landreform, UUPA hanya perlu dihadirkan dalam legalisasi aset
industri pertanian dan perkebunan, misalnya HGU.
Salah satu program andalan Revolusi Hijau ialah swasembada
beras, bukan beragam pangan yang lain. Penyeragaman jenis
pangan akan memudahan penghitungan upah dan parameter
ekonomi lainnya, misalnya mengukur tingkat kesejahteraan
penduduk berdasarkan konsumsinya, melalui propaganda: makan
nasi berarti sejahtera, makan selain nasi berarti masih sengsara.
Harga pangan menjadi tolok ukur nilai upah. Ketika harga
beras mahal maka upah akan tinggi. Agar upah rendah, maka harga
pangan harus murah. Agar harga pangan murah, maka jumlah
pangan harus berlimpah. Agar jumlah pangan berlimpah, maka
produksi harus ruah, melalui panca usaha tani dan impor beras
tentunya. Namun, di saat harga pangan mengalami kenaikan pun,
upah buruh tetap rendah, karena pangan telah dikuasai pasar/
kartel pangan.
Petani tidak dapat menentukan harga dari hasil panennya,
demikian juga buruh tidak dapat turut menentukan nilai
tenaganya. Keduanya tidak mempunyai daya tawar terhadap pasar
konsumsi maupun pasar tenaga kerja. Mereka tidak mempunyai
Deagrarianisasi dan Reforma Agraria 293