Page 395 - Mozaik Rupa Agraria
P. 395
yang disebut Kekancingan, yang diterbitkan oleh Panitikismo
(lembaga pertanahan Kesultanan/Pakualaman) untuk
tanah-tanah SG atau PAG yang disebut Magersari, meskipun
sertipikat hak milik sebagai dasar dari Kekancingan ini tidak
ada karena Kesultanan dan Pakualaman bukan subyek hak
atas tanah. Di pedesaan, Kekancingan biasanya dimohonkan
oleh masyarakat kepada Kepala Desa dan diterbitkan olehnya.
Pajak dari Kekancingan masuk ke kelurahan. Tidak jarang,
tanah-tanah tidak bertuan, yang dianggap sebagai SG atau
PAG (menurut aturan warisan Kolonial, yaitu Rijksblad van
Kasultanan No 16 Tahun 1918 dan Rijksblad van Kadipaten
Pakualaman No 18 Tahun 1918) atau disebut tanah negara
(menurut konstitusi RI dan UU Agraria RI), diperjual belikan
oleh oknum kepala atau perangkat desa. Panitikismo adalah
lembaga swasta eksekutor lapangan praktik Accumulation by
Dispossession di DIY, memanfaatkan jejaring abdi dalem dan
para makelar tanah.
2. Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan Dinas Pertanahan dan
Tata Ruang (Dispertaru)
Pemda DIY berperan sebagai pelaksana Keistimewaan DIY,
termasuk pengelola Dana Keistimewaan bersumber APBN
yang digunakan untuk membiayai inventarisasi, identifikasi,
dan sertifikasi SG dan PAG bagi BHWB. Dinas Pertanahan dan
Tata Ruang bertugas menginventarisasi dan mengidentifikasi
tanah-tanah yang dianggap sebagai SG dan PAG, meliputi:
Tanah yang terkait dengan kepentingan warisan budaya
BHWB (disebut Tanah Keprabon), Tanah Desa; Tanah yang
digunakan masyarakat atau institusi dengan atau tanpa
kekancingan; dan Tanah yang belum digunakan, tiga jenis
terakhir disebut Tanah Non Keprabon. Menurut laporan
Dispertaru, hingga tahun 2015 tercatat Tanah non Keprabon
yang sudah disertifikatkan seluas 26.879,58 ha (45.323 bidang,
382 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang