Page 397 - Mozaik Rupa Agraria
P. 397
Politik patrimonial ini terpelihara sejak masa Hamengku
Buwono IX. Dampak dari tradisi politik ini ialah patronase
(relasi panutan-manutan) yang tidak pada tempatnya,
misalnya enggan membedakan kedudukan Sultan HB
X sebagai Gubernur dan Raja, seolah keduanya sama,
lengkap dengan legitimasinya masing-masing yang dapat
dipertukarkan.
4. Keluarga Besar (trah) keturunan Sultan Hamengku Buwono
ke-7
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono ke-7,
untuk menghemat biaya daftar sipil (termasuk gaji Sultan),
atas persetujuan Pemerintah Hindia Belanda, Rijksblad
van Kasultanan No 16 Tahun 1918 sebagai dasar hukum SG
diterbitkan; demikian pula Rijksblad van Pakualaman No 18
Tahun 1918 sebagai dasar hukum PAG. Isi kedua Rijksblad itu
sama:
Sakabehing bumi kang ora ana tandha yekti kadarbe ing liyan
mawa hak eigendom dadi kagungane karaton Ingsun (semua
tanah yang tidak disertai bukti kepemilikan tanah menurut
hak eigendom menjadi milik kerajaanku).
Hak Eigendom adalah Hak Milik menurut Agrarische
Wet 1870. Artinya, tanah-tanah pada masa itu yang tidak
bersertipikat Hak Milik diklaim sebagai milik Kesultanan
atau Pakualaman, termasuk tanah dengan status Recht van
Opstal (kini Hak Guna Bangunan), Recht van Gebruik dan
Bruikleen (kini Hak Pakai, di pedesaan lazim disebut hak
Anggadhuh dan hak Anganggo), dan Erpacht (kini Hak Guna
Usaha). Logika ini menyimpang dari logika hak kepemilikan
(Property Rights) bahwa suatu pihak dinyatakan sah memiliki
suatu benda apabila ia mempunyai tanda bukti kepemilikan
384 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang