Page 404 - Mozaik Rupa Agraria
P. 404
seperti ritel, jasa hukum, pengajar, makelar izin, dan properti,
relatif tidak dekat dengan penguasa lokal dan tidak menentukan
percaturan ekonomi di antara Tionghoa, relatif tunduk pada
kepemimpinan Kelas Konglomerat, dan tetap rawan mengalami
diskriminasi dari etnis mayoritas dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bisa menghindari konflik sosial namun risikonya jatuh
miskin. Menggugat Instruksi 1975 berarti menyelamatkan aset
mereka, meskipun mereka akan dihambat oleh sesama Tionghoa
karena memposisikan etnis Tionghoa dalam situasi tidak aman
secara ekonomi, sosial, dan politik.
Peristiwa Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya (tepatnya
di DIY) dilaporkan secara lengkap oleh Majalah Pers Mahasiswa
Ekspresi Edisi XXIX/Tahun XXIV/November 2016.
Siapakah yang paling berkepentingan atas pencabutan
Instruksi 1975? Kelas Menengah secara terbuka dan Kelas
Konglomerat secara diam-diam dengan cara menunggu
kemenangan Kelas Menengah.
Siapakah yang paling berhak atas pencabutan Instruksi 1975?
Kelas Miskin karena mereka paling rentan. Hal ini sejalan dengan
amanat UU Agraria untuk mendahulukan kaum miskin dalam
penguasaan/pemilikan tanah, serta pembatasan penguasaan/
pemilikan tanah bagi kaum kaya.
Apakah gerakan Kelas Menengah Tionghoa menyasar
pula untuk kepentingan Kelas Miskin? Tidak sebab semangat
utamanya penyelamatan aset ketimbang pemerataan kesempatan/
distribusi kesejahteraan, nalar yang digunakan adalah nalar
Kelas Menengah, strategi yang ditempuh dengan lobi atau
memercayakan pada kebaikan politisi, serta tidak berbasis massa.
Ada aliansi strategis dengan Komunitas Gumuk Pasir (yang akan
saya urai kemudian) yang berbasis massa Kelas Miskin, namun
aliansi ini sekedar untuk mamanfaatkan basis massa dari kaum
Gerakan dan Perjuangan Agraria 391