Page 409 - Mozaik Rupa Agraria
P. 409
Pada 2015, Komunitas Gumuk Pasir bersama relawan FKMA
menginisiasi Forum Darurat Agraria (bukan Jogja Darurat Agraria/
JDA, keduanya entitas yang berbeda). Forum ini merupakan forum
belajar bersama para warga terdampak kebijakan pertanahan
dan tata ruang di DIY, komunitas yang pernah hadir antara lain:
Komunitas Tionghoa, Komunitas Penolak Apartemen dan Hotel,
Seniman Street Art, Komunitas Wong Cubung, di lingkar NGO
ada KARSA (tuan rumah), LBH Yogyakarta, AGRA, dan Combine.
Hasil forum ini ialah bulletin Darurat Agraria Jogja dan lingkar
aliansi 5 komunitas terdampak konflik/kebijakan agraria di DIY
(Aliansi 5 Komunitas DIY) di kemudian hari.
Tahun 2015, melalui organisasi perlawanannya, Komunitas
Gumuk Pasir menjalin komunikasi dengan Komunitas Tionghoa
dan Komunitas Celana Merah (tentangnya, akan diceritakan
kemudian) untuk isu melawan salah satu agenda Keistimewaan
DIY, yaitu perampasan ruang hidup melalui legalisasi Tanah
Kasultanan (Sultanaat Grond, SG) dan Tanah Kadipaten (Paku
Alamanaat Grond, PAG).
Seorang anggota Komunitas Gumuk Pasir, perempuan,
berlatar kelas miskin, disepakati menjadi koordinator Aliansi
5 Komunitas DIY. Koordinator diikat oleh kode etik untuk
mematuhi keputusan forum yang dirumuskan dari keputusan
forum komunitas-komunitas anggota, di lingkar aliansi ini
koordinator sama sekali tidak memiliki wewenang mengambil
keputusan. Rupanya, kedudukan koordinator Aliansi 5 Komunitas
DIY ini menjadi biang kecemburuan “jabatan” pimpinan
Komunitas Gumuk Pasir terhadap anggotanya. Ketika itu elit
Komunitas Tionghoa yaitu LY (65) seorang pelaku bisnis properti;
nasabah-penyintas skandal Bank Century; dan pemain wisata
susur Goa di Gunungkidul, memaksakan kehendak pada Aliansi 5
Komunitas DIY untuk mengikuti agenda Judicial Review (JR) UU
396 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang