Page 489 - Mozaik Rupa Agraria
P. 489

menemukan dasar  untuk  memposisikan Yogyakarta  sebagai
           ruang dengan  makna  tunggal dan entitas  kebudayaan  Jawa
           yang (dibayangkan) murni, unik dan eksotis, begitu juga untuk
           memposisikan  seni  sebagai  ekspresi batin  yang kasat indera
           (jiwa  ketok,  menurut Soedjojono),  yang  independen. Seni  dan
           Yogyakarta tak hanya berubah mengikuti arus zaman, melainkan
           juga dibentuk oleh  kekuatan-kekuatan  kolonialisme  yang  tak
           kunjung  usai.  Dengan demikian,  ketika Yogyakarta  sebagai
           manifestasi ruang diposisikan sebagai konteks, maka konteks itu
           adalah ruang fisik di mana relasi ideologi, sosial, ekonomi, politik,
           budaya berlangsung, bentuknya bisa berupa event-event sebagai
           ruang produksi  seni; perayaan  Kamis  Pahing di  kantor-kantor
           pemerintahan dan sekolah-sekolah dengan berbusana adat Jawa
           gaya Yogyakarta , upacara bendera berbusana dan berbahasa Jawa
                          30
           gaya Yogyakarta pada HUT Kota Yogyakarta, pemajangan patung
           di situs-situs wisata atau ruang publik .
                                             31
               Imajinasi ala  kolonialisme  tentang Yogyakarta  bahkan
           dipopulerkan dalam panduan wisata:
               “Daerah   Istimewa   Jogjakarta  merupakan    pusat
               kebudayaan Jawa, berada diantara dua simbol mistis Jawa
               – Gunung Merapi di Utara dan Samudera Indonesia di
               selatan, yang merupakan rumah dari ratu Laut Selatan.”
               (Lonely Planet Indonesia, 1986  dalam Lusandiana,
               2014) .
                    32




           30   Perayaan ini bisa berfungsi ganda, yaitu: feodalisasi dan komodifikasi untuk tujuan wisata,
               meski  dipaksakan atau  tidak  disadari.  Hanya  sedikit  sekolah  yang  para  siswanya  tidak
               melaksanakan kebijakan Kamis Pahing.
           31   Misalnya patung penari topeng di Beji, Patuk, Gunungkidul; patung pemain volly pantai di
               pantai Sepanjang, Tanjungsari, Gunungkidul dan patung penari kuda lumping di lapangan
               Paseban Bantul.
           32   Lisistrata Lusandiana. 2014. Menolak  Wisata, Menjadi  Warga Dunia?  Analisis Identitas
               Backpacker  sebagai  Subjek  Wisata  Alternatif.  Tesis Magister Ilmu Religi  dan Budaya.
               Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

           476    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   484   485   486   487   488   489   490   491   492   493   494