Page 515 - Mozaik Rupa Agraria
P. 515
Kau adalah putri semata wayang keluarga ini, setelah Mbak
Irma (sapaan ‘Mbak’ ini untukmu), kakakmu, mendahuluimu
11 tahun lalu karena wabah demam berdarah, tiga hari sebelum
usianya genap 11 tahun. Ibu gagal merawatnya. Pengetahuan ibu
sebagai perawat di puskesmas pembantu tak sanggup melampaui
kecepatan virus yang menelan sel darah merah kakakmu. Semua
sudah berupaya. Tetapi Tuhan berkehendak lain, kakakmu sembuh
dengan cara-Nya. Sentuhan jari-Nya membuat satu penyakit pun
tak mampu menyentuhnya, selama-lamanya. Ibu tak menyesali
kepergian kakakmu, sebab kakakmu meninggalkan kami dengan
jalan yang wajar. Ibu sedih tak sempat mengenalkanmu pada
seorang kakak perempuan yang baik dan penyayang.
Mas Wahyu, putra sulung ibu, adalah kakakmu—kalian
terpaut 15 tahun. Anak lelaki satu-satunya dalam keluarga ini. Tak
selalu penurut, sama sekali lain denganmu. Lima tahun lalu, saat
ulang tahunmu yang ke-4, ia resmi masuk akademi polisi dengan
kemampuannya yang pas-pasan. Ayahmu setengah memaksanya,
juga kakekmu, meski pun kakakmu senang-senang saja. Mereka
sanggup membayar berapa pun agar kakakmu masuk akademi.
Di zaman ini, menjadi polisi memang lebih menguntungkan
ketimbang tentara. Tak perlu selalu bertaruh nyawa. Mungkin itu
juga harapan ayah dan kakekmu, hingga mereka memercayakan
sepenuhnya pada Iptu Prawiro, termasuk uang 250 juta rupiah.
Ibu tak ingin kamu seperti kakakmu, Nak. Kakakmu tumbuh
jadi tiruan ayahmu. Anak kebanggaan yang hidup dengan
berbagai paksaan. Dipaksa les ini, kursus itu, latihan ini, training
itu. Ibu ingin kamu menjalani apa pun tanpa paksaan. Ibu
ingin kamu menjadi dirimu sendiri, jadi seseorang yang berani
menghadapi masalah-masalah dengan segenap kemampuan dan
keterbatasanmu. Seseorang yang tak perlu memaksakan diri
502 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang