Page 520 - Mozaik Rupa Agraria
P. 520
“Jamak neh arak dadi pulisi bae ora aweh!” Betul katamu, jadi
polisi saja tidak boleh. Bapakmu memang goblok!
“Bizungalah! Le. Ngiloa ya, Le. Kowe ki anake wong ra ruh
hurup, ra enjuh basa negara. Kowe ki ra memper dadi pulisi. Sekolah
bae kowe ra jedhak! Nunggak-nunggak.” Wah! Jangan kau ungkit
masa lalu anakmu, Kirman. Kau malah menasihatinya untuk
bercermin dan tahu diri. Kau bilang dirimu cuma seorang buta
aksara yang tak bisa berbahasa resmi negara, dia tak pantas jadi
polisi karena latar belakangmu? Benar dia dulu sering membolos
sekolah dan tinggal kelas, tetapi dia berubah. Lihatlah!
“Pak! Aku ki doyan gawean, aku njaluk diragadi dadi pulisi
guran. Gek kleruku ki apa?” Betul katamu. Kau bukan pemalas,
kau hanya ingin jadi polisi. Kau tak salah. Bapakmu itu yang
bodoh.
“Gek piro ragade, Le?” Akhirnya! Kau tanyakan berapa biaya
jadi polisi.
“200 yuta, Pak! 200 yuta guran, Pak Prawiro pulisine kae
mengko sing ngurus.” Ah! Kau anak yang jujur. 200 juta rupiah
bukan jumlah banyak untuk pekerjaan mulia. Dan Prawiro itu, ah
kau benar, dia polisi yang biasa mengurus segala hal. Termasuk
masa depan pemuda-pemuda sepertimu.
“Duh Gusti gek ngendi lehku golek duit semono akehe, Le?
Bapak gur nduwe prau, warung pinggir segara Baron, karo lemah
alas warisan simbah, iku bae ora amba, Le.” Apa? Kau mengeluh
bagaimana mendapat uang sebanyak itu? 200 juta itu sedikit,
Kirman. Jual saja perahumu, jual kiosmu di tepi Pantai Baron itu,
jual ladang warisan orang tuamu. Demi anakmu, Kirman.
“Yen Bapak ora nuruti, aku arak nggiantung!” Bagus,
mengancamlah bunuh diri. Bapakmu pasti luluh.
Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 507