Page 521 - Mozaik Rupa Agraria
P. 521
“Le! Bizungalah, Husen. Aja nglalu ya, Le. Ya, ya. Bapak arak
dodolan.” Aha! Akhirnya kau cegah anakmu bunuh diri, kau pilih
menjual apapun yang kau punya demi dia jadi polisi.
Sejak saat itu kau mulai sibuk berhitung, apa saja yang bisa
dijual hingga 200 juta bisa kau kumpulkan. Tapi dasar sial, seluruh
hartamu tak laku seperti yang kau mau. Apa boleh buat, pada hari
yang sudah dijanjikan kau datang juga ke makelar pekerjaan itu.
“Den Prawiro, niki 50 yuta. Kula ndherek anak kula dados
pulisi.” Kau menghiba pada Prawiro, makelar itu, menyerahkan
50 juta rupiah berikut nasib anakmu padanya. Memang begitu
seharusnya, kau sebut penolongmu: Tuan.
“Ya, Man. Dak tampa duit iki. Anakmu bakal dadi pulisi.”
Makelar itu menerima uangmu dan menjanjikan anakmu akan
jadi polisi.
“Matur nuwun, Den. Gek kinten-kinten kiranganipun pripun?”
Kau memang tahu berterima kasih, Kirman. Ah, kenapa juga
masih kau tanya-tanya bagaimana dengan kekurangannya? Kau
sudah tahu kan, kau baru membayar seperempatnya?
“Aja dadi pikirmu, Man. Kowe dak anggep utang, disaur saka
bayarane anakmu saben sasi. Gur dikethok separo, Man. Ijih iso
mangan.” Dengar itu, Man. Kekuranganmu dianggap hutang
yang akan dicicil setiap bulan dari separuh gaji anakmu. Jangan
khawatir, Man.
“Gek kinten-kinten pinten bayare Husen, Den?” Memalukan!
Kau tanya berapa gaji anakmu?
“Bayare Husen saben sasi? Ya kira-kira 2 yuta kawitane.” Nah
sudah kau dengar, Man. Gaji anakmu 2 juta tiap bulan, untuk
permulaan.
508 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang