Page 522 - Mozaik Rupa Agraria
P. 522
“Gek utang kula niku kinten-kinten rampung pinten taun,
Den?” Dasar melarat! Kau tanyakan berapa lama hutangmu
terbayar? Kau cemas tak dapat lunas?
“Ya… 12 taunan. Iku yen bayare ajeg. Ning aja sumelang,
Man. Saben mundhak pangkat mundhak bayar. Apa maneh dadi
pulisi ki akeh dalan rejekine. Yen anakmu iso nyekel maling, entuk
ganjaran 12 yuta saben sak laporan. Yen entuk pesenan saka wong
ndhuwur, mesthi luwih akeh ganjarane. Aja dadi atimu, Man.” Nah,
Man. Kau dengar sendiri. Sekitar 12 tahun hutangmu akan lunas
kalau upah anakmu ajek. Tiap naik pangkat naik upah. Makelar
itu benar, polisi itu punya banyak jalan rejeki. Jika anakmu
berjasa menangkap maling maka akan dapat bonus 12 juta, jika
dapat proyek pesanan pembesar maka akan semakin banyak
ganjarannya. Kau sama sekali tak perlu cemas, Kirman.
Kau pulang serasa kalah perang. Kau telah kehilangan
ladangmu; kiosmu; perahumu, seluruh pohon jati di
pekaranganmu, sapimu, dan separuhnya ditutup oleh hutang pada
Bu Darmi, janda tuan tanah, si lintah darat itu. Tidak apa-apa,
Man. Kau masih punya rumah. Tapi dasar kau tukang mengeluh,
kau menyesali keputusanmu sendiri.
Lima tahun kau tenggelam dalam penyesalan karena hidupmu
terjerat hutang. Kau memikirkan kehilanganmu terlalu dalam. Kau
tak mau memercayai janji makelar itu. Salahmu sendiri, pikiranmu
sakit, tubuhmu ikut sakit. Asmamu kambuh. Migrainmu kumat.
Lubang di gigimu meradang, sakit tak tertahankan. Siang malam
kau meriang. Demam karena dendam pada dirimu sendiri.
Husen tak kunjung memperoleh ganjaran. Kau menduga ia
kurang rajin. Kau salah, Man. Ia tekun mengutip para pengendara
dengan dalih operasi surat dan kelengkapan kendaraan. Di
tikungan itu, di luar jadwal operasi. Anakmu lebih rajin dari polisi
lain.
Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 509