Page 519 - Mozaik Rupa Agraria
P. 519

Dan jika kecemasan ibu benar, Ibu tak tahu harus menyalahkan
           siapa atau apa.


           [2]  Keputusasaan Kirman
               “Pak, aku pengen dadi pulisi, kaya dene Mas Wahyu!” Dengar,
           Man, Kirman. Anakmu merengek ingin jadi polisi, seperti Wahyu
           anak tetanggamu.
               “Lha thik? Apa ora ana gawean liya, Le?” Apa? Kau masih juga
           tanyakan apa tak ada pekerjaan lain?

               “Dadi  pulisi  ki  kepenak,  Pak.  Kari  njoto.  Mayar  golek  duit.
           Uthik  aku mbaleni  nasibe  Bapak, kemringet.  Uthik sambat  aku,
           Pak.” Benar,  kata  anakmu, jadi  polisi  itu  enak,  tinggal  duduk,
           gampang cari duit, tidak bermandi keluh dan peluh sepertimu.

               “Ning, Bapak ra kuat ragad, Le.” Ah, kau masih berdalih tak
           bisa membiayai.
               “Kathik jamak neh. Ya  adol-adol, Pak.” Benar anakmu. Kau
           masih punya banyak hal untuk kau jual, Kirman.

               “Bezuh!  Bapakmu ki pakaryane  njala  iwak  guran.  Apa
           rumangsamu  bapak ki juragan  iwak  kaya Bapakane  Wahyu?”
           Kau masih juga berdalih kau cuma seorang nelayan kecil, bukan
           juragan ikan seperti bapaknya Wahyu? Keterlaluan!
                “Bapak ijih nduwe prau, to? Lha mbok  ya didol.”  Bagus!
           Bujuk Bapakmu menjual perahunya, satu-satunya sumber nafkah
           keluargamu  itu sudah  layak  pensiun, sudah  terlalu  tua seperti
           Bapakmu.
               “Lha gek kepize? Adhi-adhimu karo mbokmu gek arak mangan
           apa  njuk’an?”  Tolol  kau, Kirman!  Kau masih  cemas bagaimana
           menafkahi keluargamu? Tentu saja anak-anakmu yang lain akan
           dinafkahi oleh kakaknya, seandainya ia jadi polisi.



           506    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   514   515   516   517   518   519   520   521   522   523   524