Page 523 - Mozaik Rupa Agraria
P. 523
Kau membayangkan hutangmu membukit. Sedangkan dua
anakmu yang lain, Anik dan Sri, memilih putus sekolah dan
bekerja di usia remaja. Sri jadi pembantu rumah tangga di rumah
Prawiro dan Anik jadi buruh cuci di rumah makan milik keluarga
Wahyu rekan kerja Husen. Mereka senasib dengan Marni, sepupu
mereka, yang jadi pembantu rumah tangga Bu Darmi. Pendidikan
Marni terpaksa terhenti sampai kelas satu SMP. Kau menua dan
penyakitan. Kekecewaan menggerogoti nalarmu. Kau mulai sering
keluyuran tanpa tujuan. Kau sering melewatkan malam di ladang
bekas punyamu yang dulu digarap isterimu. Tidur di gubuk yang
dulu selalu kau singgahi. Hingga suatu malam yang keramat ia
menemuimu serupa sahabat. Kau tumpahkan kekecewaanmu
padanya, dan ia menampung seluruh dukamu. Mengajakmu
beranjak dari derita dunia. Ikut bersamanya.
Sakit gigimu tak tertahankan. Sri membujukmu ke dokter,
begitu juga Anik dan isterimu bersedia mengantarmu. Tetapi kau
tak mempan bujukan.
“Pak, gek enjo menyang ndokteran. Gek men ndang mari
untumu kuwi…” Kau dengar? Anik mengajakmu ke dokter gigi.
“Ora, Nduk. Uthik dijabut. Wedi ngimpeksi.” Dasar! Penakut!
Kau takut dicabut gigi dengan alasan takut infeksi.
“Lha gek arak kepize, Pakne Husen? Sambat sebutmu marai
ora mentala.” Isterimu bingung harus bagaimana, ia tak tega
mendengar keluhanmu, wahai Bapaknya Husen. Betapa manisnya!
“Hyung…, aduh hyung. Larane…, ra kuat aku, Nduk, Mbokne.
Patenana aku! Patenana aku!” Bagus! Mengeluhlah terus-menerus.
Tenggelamlah dalam lautan keluhan. Keluhan adalah mantra
paling ampuh pemudar harapan. Kau meminta kematian.
“Bezuuh! Aja ngono kuwi Pakne Husen? Ora ilok…”
Isterimu mengingatkanmu, melarangmu meracau, tak pantas
510 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang