Page 525 - Mozaik Rupa Agraria
P. 525
gelap dengan lelaki itu, menghasilkan lembu peteng, si anak gelap.
Bekas mertuamu telah mengambil paksa hak asuhmu atas anakmu
karena kau bukan isteri sah anak lelakinya dan kemelaratanmu.
Mereka tak ingin putri kesayanganmu tumbuh jadi perempuan
jalang sepertimu. Saudarimu satu-satunya, Sarinah, telah lebih
dulu meregang nyawa. Tinggal kau sendiri, menghidupi diri,
melanjutkan dagangan saudarimu. Menempuh berkilo-kilo meter
jalan terjal berbatu karang, menjajakan kudapan dari pagi hingga
petang. Nasibmu kerontang, sekering Gunungsewu tempat
mukimmu. Rubinem, kau sebatang kara!
“Hubungan! Aku masih punya hubungan.”
Bohong!
Suami, mertua, iparmu tinggal bekas, Nem, meski pun
anakmu tidak. Tapi apa artinya? Kau hanya melahirkan, menyusui,
tapi dipisahkan ketika anakmu disapih. Ini sudah tiga tahun kau
menanggung rindu pada anakmu, Nem. Hanya saat libur sekolah
saja kau bisa mengusap lembut kepalanya, menghirupi aroma
tubuhnya, memeluknya dengan hangat, menciuminya, dan tanpa
bosan memandangi sepasang matanya yang bening, lalu kau
bertemu kembali dengan perpisahan. Kau kembali mengakrabi
sepi untuk waktu yang lama.
Benar kan, Nem? Satu hingga dua minggu saja dalam setengah
setahun sudah terasa selamanya!
“Cinta! Aku masih punya cinta.”
Omong kosong! Kau hanya bercumbu dengan ilusi, kau
menyelingkuhi khayalanmu. Gadis manis yang kau beri cenil,
grontol dan lopis setiap minggu pagi? Gadis itu bukan anakmu, kau
hanya mengagumi sapasang matanya yang serupa mata anakmu.
Kau hanya merindukan suaranya yang merdu, polah lincah, dan
celotehnya yang ingin tahu segala hal tentang kudapan yang kau
512 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang