Page 527 - Mozaik Rupa Agraria
P. 527
[4] Kebimbangan Bu Darmi
“Ni, Marni!” Bu Darmi, perempuan 72 tahun itu, memanggil
pembantunya.
“Inggih, Den Ayu.” Tergopoh-gopoh, Marni mendekat pada
majikannya yang renta itu.
“Surtipikate Kirman wingi kae didokok ngendi ya?” Bu Darmi
menanyakan di mana sertifikat tanah Kirman disimpan.
“Kadosipun wonten laci lemari ageng, Den Ayu.” Marni
menjawab kemungkinan sertifikat tanah itu ada di laci lemari
besar.
“Jupukna, Ni. Oh, ya karo cathetan potangan sisan.” Bu Darmi
memerintah Marni agar mengambilkan sertifikat tanah itu, juga
buku piutang miliknya.
“Sendika, Den Ayu.” Marni menyanggupi dan segera pergi
mengambilkan benda yang dimaksud.
Bu Darmi mulai membuka lembar demi lembar catatan
kecilnya, tangannya yang renta menuliskan nama, waktu,
keterangan, dan angka-angka dalam aksara Jawa. “Sutarno
blantike sapi, limang taun…, kurang rong atus ewu… 2 0 0 0 0 0
0. Rubinem bakule thiwul nyebrak limang atus ewu, janji telung
sasi rampung, tambah anakan dadi nem atus ewu, rung nganti
nyaur wis mati. Kirman isih telung taun maneh sepuluh yuta…
Hmm.” Usia renta membuat apa yang diingat berbeda dengan apa
yang dituliskan. Dia ingat betul, Sutarno si pedagang sapi hutang
selama lima tahun, tinggal Rp. 200.000,00 tetapi angka itu ia tulis
Rp. 2.000.000,00. Rubinem pedagang thiwul hutang padanya
Rp. 500.000,00 ditambah bunga pinjaman jadi Rp. 600.000,00
tetapi belum sempat dibayar sudah meninggal. Lalu, Kirman.
Pinjamannya masih tiga tahun lagi, sebesar Rp. 10.000.000,00!
514 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang