Page 532 - Mozaik Rupa Agraria
P. 532
gung liwang-liwung; pesisir; wedhi kengser; oro-oro; lan siti ingkang
mboten kadarbe ing sanes nalika taun 1918, samenika badhe dipun
suwun kondur ngarsanipun Sinuhun, Bu.” Tamunya membenarkan
isi surat itu. Katanya, di jaman istimewa ini, Baginda memberi
perintah melalui pembesar Kawedanan lalu perintah itu turun
sampai ke bupati, camat, lurah dan kepala dusun, bahwa seluruh
tanah sejatinya milik Baginda, termasuk tanah desa; makam;
hutan; seluruh pesisir; sepanjang bantaran sungai; tanah tak
bertuan; dan tanah-tanah tanpa hak milik tahun 1918, sekarang
semua tanah itu akan diambil kembali oleh pemiliknya, yaitu
Baginda.
“We lha dalah. Kalebet siti-siti ingkang sampun gadhah
surtipikat?” Bu Darmi terkejut, ia menanyakan apakah termasuk
tanah-tanah yang sudah bersertifikat?
“Leres, Bu. Kejawi siti ingkang mawi surtipikat jaman 1918,
surtipikat andarbe jaman Walandi. Punapa Ibu kagungan surtipikat
jaman Walandi?” Tamunya membenarkan, terkecuali tanah-tanah
yang dilengkapi sertifikat hak milik tahun 1918, jaman kolonial
Belanda. Tamu itu menanyakan apakah Bu Darmi masih memiliki
tanah bersertifikat hak milik tahun 1918?
“We lha dalah, temtu kemawon mboten gadhah, Nak Mas.
Menika enggal sedanten, wedalan Negari Endonesa. Estu makaten
dhawuh Sinuhun?” Bu Darmi kaget, ia berkata tentu saja dirinya
tak punya sertifikat hak milik tanah di tahun 1918, sertifikat yang
ia punya semuanya baru, terbitan Negara Indonesia. Bu Darmi
meragukan bahwa pengambilalihan tanah itu perintah Baginda.
“Leres, Bu. Menika tandha yekti kula nampi dhawuh Sinuhun,
kula sentana dalem lan kaparentah Sinuhun. Gandheng sampun
rebat cekap, kula nyuwun pamit. Pareng…” Tamu Bu Darmi
menegaskan bahwa perintah itu benar adanya, ia bilang dirinya
Politik Ruang, Populasi dan Kesehatan Mental 519